Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekonomi RI Stagnan, Akademisi Soroti Penurunan Teknologi Produksi

Penurunan kemampuan dalam mengelola teknologi produksi dinilai menjadi penyebab pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan.
Ilustrasi pertumbuhan ekonomi. Suasana gedung bertingkat di Jakarta, Senin (17/6/2024). / Bisnis-Himawan L Nugraha
Ilustrasi pertumbuhan ekonomi. Suasana gedung bertingkat di Jakarta, Senin (17/6/2024). / Bisnis-Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA — Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjajaran/Unpad Arief Anshory Yusuf meyakini Indonesia mengalami ketertinggalan dalam mengelola teknologi produksi dalam 20 tahun terakhir sehingga pertumbuhan ekonomi stagnan di kisaran 5%.

Arief merujuk data Asian Productivity Organization, yang menunjukkan bahwa rata-rata pertumbuhan ekonomi (output) Indonesia mencapai 4,8% per tahun selama 2002—2022. Dia menjelaskan, ada dua sumber utama pertumbuhan ekonomi yaitu tenaga kerja dan modal (input) serta total factor productivity (penguasaan teknologi).

Selama 2002—2022, sambungnya, rata-rata input Indonesia tumbuh 4,9% per tahun. Masalahnya, pada periode yang sama, rata-rata pengusahaan teknologi terkontraksi 0,1% per tahun.

"Ini penyebabnya kita mengalami penurunan produktivitas. Jadi kemampuan teknologi produksi kita itu menurun. Jadi kalau orang lain tambah pintar dalam mengolah input menjadi output, Indonesia—maaf—tambah bodoh," ujar Arief dalam diskusi daring, Kamis (30/1/2024).

Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) itu pun membandingkan Indonesia dengan tiga negara-negara kawasan. Data perbandingan menunjukkan kelemahan Indonesia dalam mengelola proses produksi.

Pertama, China yang rata-rata pertumbuhan ekonomi mencapai 7,8% per tahun selama 2002—2022. Output tersebut didukung oleh input yang rata-rata tumbuh 5,8% per tahun ditambah penguasaan teknologi yang rata-rata tumbuh 2% per tahun selama 2002—2022.

Kedua, India yang rata-rata pertumbuhan ekonominya mencapai 6,9% per tahun selama 2002—2022. Output tersebut didukung oleh input yang rata tumbuh 4,6% per tahun ditambah penguasaan teknologi yang rata-rata tumbuh 2,2% per tahun selama 2002—2022.

Ketiga, China yang rata-rata pertumbuhan ekonominya mencapai 7% per tahun selama 2002—2022. Output tersebut didukung oleh input yang rata tumbuh 6,5% per tahun ditambah penguasaan teknologi yang rata-rata tumbuh 0,6% per tahun selama 2002—2022.

Lebih lanjut, Arief menerangkan bahwa berdasarkan World Intellectual Property Organization per 2024, peringkat inovasi Indonesia berada di urutan ke 54 di dunia. Peringkat tersebut lebih rendah dari China (11), India (39), dan Vietnam (44).

Lebih detail, Arief mengungkapkan ada dua komponen yang paling memberatkan peringkat inovasi Indonesia yaitu human capital and research (peringkat 90 dunia) dan knowledge and technology output (peringkat 73 dunia).

"Nah tentunya kedua komponen tadi, itu sangat dipengaruhi oleh ekosistem research [penelitian] dan ekosistem pengetahuan, di mana aktor terpentingnya itu adalah perguruan tinggi," jelasnya.

Masalahnya, tambah Arief, kinerja perguruan tinggi di Indonesia masih jauh dari harapan. Misalnya dalam penerbitan penelitian di jurnal top dunia (1% persentil) selama 2002—2022, China mencapai 105,2 ribu paper per satu juta penduduk, India mencapai 10,8 ribu paper per satu juta penduduk, Vietnam mencapai 15,1 ribu paper per satu juta penduduk, dan Indonesia hanya 1,3 ribu paper per satu juta penduduk.

Sejalan dengan itu, berdasarkan pemeringkatan THE WUR, hanya ada satu perguruan tinggi di Indonesia yang masuk daftar 1.000 universitas terbaik di dunia. Sementara itu, China punya 72 universitas, India punya 44 universitas, dan Vietnam punya empat universitas.

"Jadi intinya adalah bahkan dalam core business-nya, pendidikan dan penelitian, perguruan tinggi Indonesia masih tertinggal dan gagal memenuhi harapan. Nah sekarang harus bisnis tambang, coba pikir saja gitu, bisnis intinya saja gagal, gimana bisnis tambang," sentil Arief.

Visiting Professor di King's College London ini menilai, selain faktor tata kelola, kurangnya bantuan pendanaan dari pemerintah menyebabkan kinerja perguruan tinggi di Indonesia masih sangat mengecewakan.

Arief mengungkapkan pemerintah di negara-negara OECD rata-rata menyumbang 66,5% pendanaan perguruan tinggi per data 2015. Sementara itu, pemerintah Indonesia hanya menyumbang sekitar 27% pendanaan perguruan tinggi.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper