Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan pemerintah tetap optimistis pertumbuhan ekonomi Indonesia mampu mencapai 5,2% meskipun Bank Dunia meramalkan pertumbuhan yang stagnan di level 5,1%.
Dalam laporan terbaru Global Economic Prospects (GEP) edisi Januari 2025, Bank Dunia tidak mengubah proyeksinya terhadap ekonomi Indonesia dari laporan GEP Juni 2024.
Airlangga tidak menampik memang sejumlah lembaga maupun instansi menurunkan atau mempertahankan proyeksinya. Salah satunya, Bank Indonesia (BI) yang merevisi ke bawah ekonomi Indonesia 2025 dari 5,2% menjadi 5,1%.
"Memang beberapa [lembaga] termasuk BI juga menurunkan dari 5,2% ke 5,1%. Tetapi pemerintah sih tetap optimistis, ini kan masih bulan Januari," ujarnya kepada wartawan di Kantor Kemenko Perekonomian, Jumat (17/1/2025).
Airlangga menuturkan pihaknya akan melihat perkembangan ekonomi ke depan. Di mana pemerintah mengharapkan momentum Ramadan dan Idulfitri untuk menggenjot sektor konsumsi.
Di mana pertumbuhan ekonomi Tanah Air sangat ditopang oleh konsumsi rumah tangga. Sementara dalam beberapa kuartal terakhir, daya beli masyarakat cukup melemah yang ditunjukkan dari inflasi dan Indeks Penjualan Riil (Riil) yang tumbuh melambat.
Baca Juga
Selain mendorong konsumsi, pemerintah juga akan memperkuat ekonomi melalui pembaruan kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE).
Sebagaimana diketahui, pemerintah saat ini tengah merampungkan aturan terbaru yang mengatur perpanjangan masa simpan hasil ekspor dari minimal 3 bulan menjadi paling sebentar 1 tahun.
"Mudah-mudahan ini segera bisa kita luncurkan sehingga fundamental daripada ketahanan ekonomi kita semakin kuat," ungkap Airlangga.
Memerinci laporan GEP edisi Januari 2025, tercatat proyeksi ekonomi untuk Indonesia ditahan pada angka 5,1% untuk tahun 2025 dan 2026. Sementara estimasi untuk 2024 tetap di angka 5%.
Angka tersebut tidak berubah dari GEP edisi Juni 2024. Sebagai informasi, Bank Dunia merilis laporannya setiap Januari dan Juni.
Berbeda dengan proyeksi untuk Thailand dan China yang justru direvisi ke atas. Masing-masing untuk 2025 dikerek dari 0,1% dan 0,4%.