Bisnis.com, JAKARTA - PT Pertamina (Persero) menyiapkan dua kilang utama untuk memproduksi campuran biodiesel berbasis sawit 40% atau B40. Bahan bakar ramah lingkungan itu bakal mulai diimplementasikan pada Januari 2025
Direktur Operasi PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Didik Bahagia mengatakan dua kilang yang disiapkan adalah Refinery Unit III Plaju di Palembang dan Refinery Unit VII Kasim di Papua.
Selain itu, pencampuran bahan bakar solar dengan bahan bakar nabati akan dilakukan oleh Pertamina Patra Niaga.
"Pada dasarnya, kilang kami rata-rata memproduksi bahan bakar B0, dan insya Allah siap untuk memproduksi B40. Kilang yang akan memproduksi B40 adalah RU III Plaju dan RU VII Kasim," kata Didik melalui keterangan resmi dikutip Senin (30/12/2024).
Didik mengaku kilang milik perusahaan telah siap memproduksi B40. Dia pun mencontohkan kilang Pertamina lainnya telah sukses memproduksi bioavtur atau Sustainable Aviation Fuel (SAF) dengan campuran 2,4 persen bahan bakar berbasis sawit.
Adapun produksi ini dilakukan di Green Refinery Kilang Cilacap melalui metode co-processing.
Baca Juga
Kapasitas pengolahan bioavtur saat ini mencapai 9.000 barel per hari (bph), dengan bahan baku dari produk turunan kelapa sawit, yaitu Refined Bleached Deodorized Palm Kernel Oil (RBDPKO).
“Uji coba telah dilakukan menggunakan pesawat Garuda Indonesia Boeing 737-800 untuk rute Jakarta-Solo pulang pergi," jelas Didik.
Untuk memastikan kesiapan produksi B40, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung pun mengecek kesiapan dari sisi industri Fatty Acid Methyl Ester (FAME) sebagai bahan bakar nabati.
Menurut Yuliot, kebutuhan biodiesel untuk mendukung mandatory B40 diperkirakan mencapai 15,6 juta kiloliter per tahun. Angka tersebut mencakup distribusi ke seluruh Indonesia, sehingga kesiapan dari sisi bahan baku dan rantai pasok menjadi prioritas utama.
Kementerian ESDM, kata dia, juga terbuka terhadap masukan dari berbagai badan usaha untuk memastikan kelancaran implementasi B40. Menurut Yuliot, tantangan dalam penerapan B40 tidak hanya terkait dengan ketersediaan bahan baku, tetapi juga kondisi geografis yang beragam di Indonesia.
"Kami mengharapkan masukan dari Pertamina Patra Niaga maupun badan usaha lain terkait tantangan implementasi B40. Misalnya, wilayah seperti Dumai yang relatif panas, atau daerah dataran tinggi dengan suhu lebih dingin, apakah ada impact yang perlu disiapkan baik oleh Pertamina maupun badan usaha BBM yang akan melaksanakan mandatori B40," ujar Yuliot.