Bisnis.com, JAKARTA — Dunia usaha berharap adanya keseimbangan antara kebutuhan penciptaan daya saing dan pertumbuhan ekonomi dalam negeri, usai Bank Indonesia (BI) menahan suku bunga acuan alias BI Rate di level 6% berdasarkan Rapat Dewan Gubernur (RDG) periode 17—18 Desember 2024.
BI menyatakan keputusan ini konsisten dengan arah kebijakan moneter untuk memastikan tetap terkendalinya inflasi dalam sasaran 2,5±1% pada 2024 dan 2025, serta untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan bahwa pelaku usaha akan senantiasa menghormati kebijakan suku bunga BI.
“Pelaku usaha berharap suku bunga acuan BI tidak hanya diarahkan pada penciptaan stabilitas semata, tapi juga balance dengan kebutuhan penciptaan daya saing dan pertumbuhan ekonomi dalam negeri,” kata Shinta kepada Bisnis, Rabu (18/12/2024) malam.
Adapun, di tengah pelemahan kinerja pasar, dunia usaha menginginkan agar suku bunga BI bisa turun untuk meningkatkan optimisme dan mendapatkan kepercayaan dari pasar dalam negeri untuk melakukan kegiatan ekonomi, terutama konsumsi dan investasi.
“Secara esensi, pelaku usaha berada dalam kondisi yang tidak terlalu diuntungkan bila suku bunga BI tetap karena kondisi tersebut tidak cukup menstimulasi peningkatan kinerja pasar, terutama dengan adanya kebijakan PPN 12%,” ujarnya.
Baca Juga
Di sisi lain, Shinta memandang penurunan suku bunga cenderung akan lebih kondusif menstimulasi kinerja pasar dan pertumbuhan ekonomi sektor riil.
Namun, lanjut dia, kondisi ini hanya akan terjadi apabila nilai tukar bisa dijamin stabilitasnya atau tidak mengalami pelemahan yang terlalu dalam atau terlalu cepat sehingga tidak menciptakan beban baru terhadap kinerja dan kepercayaan pasar.
“Kalau suku bunga turun tapi nilai tukar terus anjlok, kami tidak yakin penurunan suku bunga akan punya efek yang cukup positif terhadap kinerja pasar,” ujarnya.
Menurut Shinta, jika suku bunga turun maka cenderung akan memberi sinyal pelemahan kinerja ekonomi yang semakin tinggi di Indonesia. Imbasnya, pelaku pasar dalam dan luar negeri akan lebih wait and see atau lebih konservatif (menahan) konsumsi dan investasi.
Idealnya, ungkap dia, pemerintah meningkatkan efektivitas kebijakan yg mengstimulasi peningkatan net ekspor dan investasi langsung asing bersih (net foreign direct investment/FDI). Hal ini dilakukan agar risiko pelemahan nilai tukar tidak hanya bertumpu pada kebijakan suku bunga BI saja seperti saat ini.
“Dengan demikian, BI bisa lebih leluasa menggerakkan suku bunga untuk kebutuhan menstimulasi kinerja pasar nasional,” tandasnya.