Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah batal menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT), tetapi akan menaikkan harga jual eceran (HJE) untuk rokok konvensional dan elektrik.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani mengumumkan bahwa ketentuan HJE tersebut akan terbit pada pekan ini.
“PMK sudah kami siapkan bersama dengan BKF [Badan Kebijakan Fiskal], sudah diharmonisasi di Kemenkumham dan insyaAllah akan dalam minggu ini bisa diterapkan,” tuturnya dalam konferensi pers APBN Kita, Rabu (11/12/2024).
Seharusnya, tarif CHT ditentukan secara tahun jamak atau multiyears, yang sebelumnya telah dijalankan dalam dua tahun terakhir, yakni 2023 dan 2024.
Hal tersebut mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191/PMK.010/2022 tentang Perubahan Kedua atas PMK 192/PMK.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun atau Klobot, dan Tembakau Iris.
Aturan terkait HJE rokok, Askolani menyebutkan akan terbit dua Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Baca Juga
Satu PMK mengenai HJE rokok konvensional dan satu lagi mengenai HJE rokok elektrik yang akan dipakai untuk landasan kebijakan pada APBN 2025. Meski demikian, Askolani belum membocorkan rencana harga jualnya.
Di tengah tidak adanya kenaikan tarif cukai, Askolani menyampaikan rencana pencetakan pita cukai yang telah dipesan oleh perusahaan mencapai sekitar 15 juta hingga 17 juta pita cukai.
Alasan Kerek Harga Jual Eceran
Sebelumnya, Asko menyebutkan sampai dengan akhir pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang telah diketok, pemerintah belum akan menaikkan tarif cukai rokok.
“Posisi pemerintah untuk kebijakan penyesuaian CHT 2025 belum akan dilaksanakan,” ujarnya pada September lalu.
Meski tidak ada penyesuaian, pemerintah berencana mengeluarkan kebijakan alternatif lainnya dengan menyesuaikan harga jual di level industri.
Kebijakan tarif cukai rokok 2025 tersebut disebutkan dengan pertimbangan adanya fenomena downtrading yang marak terjadi.
Hingga November 2024, realisasi penerimaan negara dari cukai mencapai Rp192,7 triliun atau 74,8% dari target APBN atau tumbuh 2,83% dari periode yang sama tahun lalu.
Cukai yang tumbuh tersebut dipengaruhi naiknya produksi rokok Golongan II dan Golongan III meskipun Golongan I yang tarifnya lebih tinggi mengalami penurunan, alias downtrading.
Tujuan Pengendalian Tak Tercapai
Pada dasarnya, cukai atau pungutan negara dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang konsumsinya perlu dikendalikan, dan peredarannya perlu diawasi untuk meminimalisir dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup.
Keputusan pemerintah untuk menaikkan harga jual eceran rokok pada 2025, tetapi tidak dengan tarif cukainya, dinilai hanya akan membuat perokok konvensional beralih ke rokok elektrik (vape).
Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menjelaskan kebijakan kenaikan harga jual eceran (HJE) atas produk hasil tembakau terdiri dari beberapa layar berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 97/2024. Beleid terbaru itu membedakan antara rokok konvensional dengan rokok elektrik.
Masalahnya, menurut Fajry, HJE atas beberapa rokok elektrik yang diterapkan pemerintah masih di bawah harga di tingkat konsumen. Dia mengakui bahwa satu batang rokok lebih murah dibandingkan dengan satu rokok elektrik sistem tertutup.
Hanya saja, sambungnya, satu produk rokok elektrik dapat dikonsumsi lebih lama atau jumlah hisapan lebih banyak. Oleh sebab itu, harga rokok konvensional masih lebih mahal dibandingkan dengan rokok elektrik.
Selain itu, beban cukai rokok elektrik jauh lebih rendah dibandingkan dengan rokok konvensional. Fajry pun meyakini kenaikan HJE bagi rokok elektrik tanpa adanya kenaikan tarif cukai hanya akan meningkatkan keuntungan perusahaan rokok elektrik.
"Dengan begitu akan ada peralihan konsumsi dari rokok konvensional ke rokok elektrik. Kalau ada peralihan, artinya tujuan pengendalian menjadi tidak terpenuhi," ujarnya kepada Bisnis, Minggu (15/12/2024).
Jika benar demikian maka terbantahkan alasan pemerintah menaikkan HJE rokok untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Fajry melihat konsumsi produk hasil tembakau tidak akan menurun secara agregat, hanya terjadi peralihan dari rokok konvensional ke rokok elektrik.
Dia pun menukil dari dari Badan Pusat Statistik, Riset Kesehatan Dasar, dan Survei Kesehatan Nasional yang menunjukkan terjadi kenaikan pengguna rokok elektrik dalam beberapa tahun terakhir pada saat prevalensi perokok menurun.
"Kebijakan fiskal yang tidak adil hanya akan menyebabkan peralihan konsumsi bukan pengendalian konsumsi. Itulah mengapa, belakangan beberapa seperti Inggris melarang penjualan rokok elektrik per Juni 2025," ungkap Fajry.
Lebih lanjut, dia juga meyakini pendapatan kenaikan HJE rokok juga tidak akan berdampak positif ke penerimaan negara. Dia menjelaskan selama ini penerimaan negara dari 'pajak dosa' produk hasil tembakau berdasarkan tarif cukai bukan tarif ad-valorem.
Tarif cukai sendiri dikenakan berdasarkan jumlah atau kuantitas barang tertentu seperti unit, berat, atau volumenya. Sementara itu, tarif ad-valorem dikenakan berdasarkan persentase dari nilai atau harga barang/jasa.
"Besaran penerimaan [dari produk hasil tembakau] bergantung jumlah yang terjual bukan harga. Sedangkan kenaikan HJE akan menurunkan jumlah produk hasil tembakau yang terjual. Dengan begitu, kenaikan HJE malah akan menurunkan kinerja penerimaan cukai tahun depan," jelas Fajry.
Rokok Ilegal
Selain HJE yang dikerek, industri tembakau masih terhimpit dengan rencana pemerintah menerbitkan kebijakan industri hasil tembakau (IHT) dan rokok elektronik yang tertuang dalam rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (R-Permenkes) sebagai turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) 28/2024.
Salah satu kebijakan yang memberatkan industri yaitu penyeragaman kemasan rokok polos. Hal ini justru membuat peredaran rokok ilegal makin tidak kentara di pasar.
Waketum Kadin Bidang Perindustrian Saleh Husin mengatakan rancangan aturan tersebut justru akan meningkatkan peredaran rokok ilegal yang secara otomatis akan menggerus penerimaan negara melalui cukai hasil tembakau (CHT).
"Untuk itu saran kami ke sahabat saya Mas Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sebaiknya niat tersebut di urungkan karena akan lebih banyak mudhoratnya, tentu kami semua juga sama sama berpikir tentang isu kesehatan," kata Saleh, dikutip Jumat (6/12/2024).
Sebelumnya, Saleh juga menyoroti peredaran rokok ilegal yang makin masif, bahkan disinyalir lebih banyak dibandingkan rokok legal. Pelaku usaha meminta agar pengawasan dan pencegahan dapat diperkuat.
Untuk itu, kondisi tersebut menunjukkan pentingnya perbaikan dan penguatan tata kelola industri hasil tembakau (IHT) agar tidak menjadi bumerang bagi industri itu sendiri.
"Artinya yang paling utama adalah bagaimana pengawasan terhadap rokok-rokok ilegal yang justru membahayakan," ujarnya.
Terlebih, Saleh menilai rokok ilegal menekan ekosistem IHT yang merupakan industri padat karya dengan serapan tenaga kerja langsung dan tidak langsung mencapai 6 juta pekerja, termasuk petani, produsen, distributor, hingga ritel.
Senada, Kalangan produsen mengeluhkan peredaran rokok ilegal yang berisiko berdampak terhadap pekerja dan petani, sehingga pemerintah perlu segera bertindak tegas.
Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wachjudi mengatakan pokok ilegal akan menurunkan penjualan produk resmi, sehingga berdampak pada penurunan produksi.
Industri hasil tembakau (IHT) harus bisa terlindungi dari serangan rokok ilegal yang dapat mematikan industri. Menurutnya, produksi, peredaran, dan penjualan rokok ilegal harus dipandang sebagai sebuah kejahatan yang luar biasa atau extraordinarycrime, sehingga pemberantasannya tidak bisa dilakukan secara biasa.
"Pemerintah sudah bekerja, tapi menurut saya belum optimal. Sepanjang pengetahuan saya, belum ada pelaku utama yang ditangkap,” terangnya.