Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperingatkan dampak negatif terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat ke pasar keuangan Indonesia. Trump sendiri akan diambil sumpahnya sebagai Presiden AS pada Januari mendatang.
Sri Mulyani meyakini Trump akan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tidak jauh beda seperti periode pertamanya ketika menjadi presiden Amerika Serikat (AS) pada 2017—2021. Hanya saja, dia meyakini arah kebijakan Trump pada periode keduanya akan lebih akseleratif.
"Biasanya dari sisi APBN-nya, di satu sisi populis dalam hal memotong pajak korporasi tapi juga akan memotong banyak sekali benefit yang dinikmati oleh masyarakat sehingga dari sisi fiskal balance-nya juga masih remain to be seen [masih harus dilihat]," ujar Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN Kita di Kantor Kemenkeu, Jakarta Pusat, Rabu (11/12/2024).
Oleh sebab itu, bendahara negara itu tidak heran apabila pasar saham AS merespons secara positif kemenangan Trump karena dianggap akan berdampak positif ke korporasi.
Anomalinya, imbal hasil US Treasury ternyata tidak turun meski pasar saham terus naik. Menurut Sri Mulyani, itu terjadi karena ada antisipasi defisit fiskal di era kedua Trump semakin lebar.
Apalagi, sambungnya, kebijakan Trump yang ingin menaikkan tarif bea masuk akan menyebabkan kenaikan harga-harga barang di AS. Akibatnya, inflasi di AS diproyeksikan akan tertahan.
Baca Juga
"Dengan demikian, masa depan dari penurunan Fed Funds Rate [suku bunga The Fed] menjadi dipertanyakan. Apakah akan jadi turun? Dan kalau jadi turun, seberapa cepat? Ini menjadi suatu yang akan menahan perekonomian dunia," jelas Sri Mulyani.
Dia mengingatkan bahwa imbal hasil US Treasury dan suku bunga The Fed mempengaruhi arus modal di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Dari sisi harga komoditas juga menjadi pertanyaan. Terlebih, Trump memilih menteri energi yang pro terhadap bahan bakar fosil sehingga menyebabkan harga minyak tertahan.
Sejalan dengan itu, rantai pasok global juga terus terganggu karena masih panasnya geopolitik. Selain itu, juga ada embargo terhadap ekspor chip.
"Jadi flow of capital-nya [arus modal] menjadi tersedot ke Amerika, flow of goods-nya disrupted dengan ketidakpastian geopolitik maupun terjadinya berbagai langkah seperti kenaikan tarif dan embargo. Suasana inilah yang kita antisipasi karena ini baru mulai," simpul Sri Mulyani.