Bisnis.com, JAKARTA — Pekerja maupun buruh menuntut kenaikan upah minimum yang lebih tinggi di tengah rencana pemerintah menerapkan Pajak Pertambahan Nilai alias PPN 12% yang diwanti-wanti menggerus daya beli dan menekan ekonomi.
Tak tanggung-tanggung, buruh bahkan meminta upah naik hingga 20%. Padahal, rata-rata kenaikan UMP dalam 10 tahun terakhir (2014-2024) sebesar 8,5%.
Secara historis, buruh pernah menikmati kenaikan UMP yang tinggi hingga 22,17% pada 2014 lalu, namun lambat laun angka tersebut terus turun.
Sejatinya, Upah Minimum Provinsi (UMP) mulai diumumkan pada 21 November lalu. Namun, dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan perubahan formula pengupahan—tidak lagi memakai nilai indeks tertentu—pemerintah menunda pengumuman tersebut.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai idealnya UMP harus naik 10% untuk menyeimbangi kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 2025.
Berdasarkan perhitungannya, paling tidak kenaikan tersebut dapat memberikan efek ke konsumsi rumah tangga hingga Rp67,23 triliun. Selain itu, juga memberikan tambahan produk domestik bruto (PDB) hingga Rp122,2 triliun.
Baca Juga
“Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan upah minimum dapat memberikan kontribusi positif yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional,” ujarnya, Selasa (26/11/2024).
Sementara Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menilai kenaikan upah yang terlalu tinggi akan membebani pengusaha dan pada akhirnya berdampak pada konsumen.
Kolaborasi antara kenaikan upah dan tarif pajak akan berdampak pada kenaikan biaya produksi yang pada akhirnya dibebankan kepada konsumen.
“Ini akan mengurangi permintaan barang. Karena masyarakat mengurangi konsumsinya. Pada akhirnya menurunkan pertumbuhan ekonomi,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (26/11/2024).
Ekonom Center of Reform on Economic (Core) Yusuf Rendy Manilet melihat jika kenaikan upah tidak mencapai angka ideal, dampaknya akan sangat serius dan berjenjang.
Pertama, daya beli masyarakat akan terpukul, mengakibatkan penurunan konsumsi rumah tangga secara signifikan. Hal ini akan langsung memengaruhi sektor ritel dan UMKM yang sangat bergantung pada belanja masyarakat.
Kedua, penurunan konsumsi akan memicu efek domino yang memperlambat pertumbuhan ekonomi, bertentangan dengan target pertumbuhan pemerintah. Dalam konteks ini, bukan hanya konsumsi masyarakat yang terpengaruh, tetapi juga stabilitas sektor usaha yang menjadi tulang punggung perekonomian.
Lebih jauh lagi, ketidakseimbangan antara kenaikan PPN dan kenaikan upah akan memperburuk situasi. Biaya hidup yang terus meningkat tanpa diimbangi daya beli dapat memicu keresahan sosial.
“Di sisi lain, pengusaha menghadapi dilema besar, yakni kenaikan upah yang tidak ideal sering kali memaksa mereka melakukan efisiensi biaya,” ujarnya.
Untuk itu, dalam memastikan efektivitas kebijakan UMP, pemerintah dapat mengambil langkah strategis, seperti memperkuat basis data dan analisis ekonomi yang digunakan sebagai acuan, meningkatkan dialog sosial yang inklusif antara pihak-pihak terkait, serta mengkaji komponen penentu UMP seperti biaya hidup, kebutuhan dasar, dan disparitas regional.
Sementara itu, Menteri Ketenagakerjaan Yassierli telah memastikan bahwa upah minimum tahun depan naik signifikan. Kendati begitu, dia belum bisa mengungkap, berapa persen kenaikan upah minimum tahun depan.
“Saya pastikan UMP 2025 akan naik dan itu akan membahagiakan semua teman-teman di sini,” ujarnya, Rabu (20/11/2024).