Bisnis.com, JAKARTA — Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyarankan agar pemerintah menunda kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12%, mengingat kondisi perekonomian Indonesia saat ini berbeda dibandingkan dengan saat keputusan tersebut disusun.
Ketua Umum Kadin Indonesia Arsjad Rasjid mengakui kenaikan tarif PPN sebesar 1% dari 11% menjadi 12% sudah diputuskan sejak lama. Namun, dengan melihat kondisi daya beli masyarakat yang melemah, kenaikan PPN 12% dinilai kurang tepat.
“Kami menyarankan dengan situasi kondisi yang ada itu sebaiknya ditunda lebih dahulu, mungkin timing-nya saja yang belum pas. Karena kondisinya waktu diputuskan, saat itu keadaannya berbeda dengan hari ini,” kata Arsjad dalam konferensi pers White Paper Usulan Strategi/Arah Pembangunan Bidang Ekonomi Tahun 2024-2029 di kawasan Jakarta Selatan, Selasa (26/11/2024).
Dalam hal mengejar target pertumbuhan ekonomi 8%, Arsjad mengusulkan pemerintah harus mendorong investasi masuk ke Tanah Air agar mencapai produk domestik bruto (PDB) hingga US$60 miliar per tahun selama lima tahun ke depan.
Maka dari itu, dia memandang pemerintah perlu menunda pengenaan tarif PPN 12% lantaran kondisi ekonomi yang terjadi saat ini berbeda dengan keadaan di tahun-tahun sebelumnya.
“Tapi 5 tahun ini penting untuk we need US$60 miliar per tahunnya. Kalau uang masuk, akan berbeda lho keadaannya [ekonomi Indonesia]. Jadi yang kita kejar bagaimana uang masuk ke Indonesia, itu penting,” terangnya.
Baca Juga
Di sisi lain, jika pemerintah tetap menerapkan tarif PPN 12% pada 2025, Arsjad menyebut bakal terjadi efek di balik kebijakan ini.
Sebelumnya, Ketua Umum Afiliasi Global Retail Indonesia (AGRA) Roy Nicholas Mandey menyarankan agar pemerintah menunda kenaikan tarif PPN setidaknya dua tahun dengan melihat tren daya beli dan konsumsi masyarakat.
Roy menyampaikan pemerintah memiliki instrumen Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk menunda terlebih dahulu tarif PPN 12%. Pasalnya, ungkap dia, fakta yang terjadi lapangan menunjukkan situasi masyarakat saat ini sedang terjadi pelemahan daya beli.
“Prinsipnya, kami mendukung untuk HPP [Harmonisasi Peraturan Perpajakan], Undang-Undang Nomor 7 untuk 12%, itu tetap bisa diberlakukan, tetapi tidak 1 Januari [2025]. Harus di-Perppu-kan, di-delay,” kata Roy saat dihubungi Bisnis.
Menurut Roy, pemerintah perlu memiliki sense of crisis untuk melihat atau mendengar keluhan atau situasi yang terjadi di lapangan. Sebab, saat ini masyarakat tengah mengalami pelemahan daya beli akibat deflasi lima bulan berturut-turut.
“Ini [tarif PPN 12%] adalah keputusan arogansi, di mana pemerintah tidak punya sense of crisis melihat masyarakatnya yang saat ini sedang terjadi kelemahan daya beli,” tuturnya.
Roy juga melihat potensi badai PHK yang bakal terjadi jika pemerintah tetap memberlakukan PPN 12% pada 2025.
Alih-alih mengerek tarif PPN menjadi 12%, Roy menilai pemerintah bisa meningkatkan penerimaan negara. Salah satunya dengan mempercepat Undang-Undang Perampasan Aset Koruptor. Roy menyebut, jika UU tersebut dipercepat maka bisa masuk ke anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).