Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Heboh Penolakan, Komisi Informasi Minta Sri Mulyani Tunda Kenaikan PPN Jadi 12%

Komisi Informasi Pusat meminta pemerintah menunda rencana kenaikan PPN menjadi 12% pada 1 Januari 2025 usai muncul gelombang penolakan dari masyarakat.
Pengunjung beraktivitas di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta. Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Pengunjung beraktivitas di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta. Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Informasi Pusat meminta pemerintah menunda rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai atau PPN dari 11% menjadi 12% pada 1 Januari 2025, terutama usai muncul gelombang penolakan dari masyarakat.

Komisioner Komisi Informasi Pusat Rospita Vici Paulyn menjelaskan bahwa pihaknya menangkap keresahan masyarakat terkait wacana kenaikan tarif PPN beberapa waktu terakhir.

Pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan Sri Mulyani, tidak boleh menghiraukan keresahan masyarakat yang menjadi cerminan kondisi riil perekonomian saat ini.

"Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali kenaikan PPN karena dilakukan dalam kondisi ekonomi masyarakat masih sangat lusuh," kata Rospita dalam konferensi pers di Kantor Komite Informasi Pusat, Jakarta Pusat, Senin (25/11/2024).

Dia menjelaskan pemerintah harus mempertimbangkan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi ketika mengeluarkan kebijakan yang berpengaruh ke hajat hidup banyak orang, seperti kenaikan tarif PPN menjadi 12%.

Rospita menanyakan, sudah sejauh mana Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melakukan kajian atas dampak kenaikan tarif PPN termasuk keterlibatan masyarakat dalam pembahasannya.

Jika Kemenkeu belum terbuka terkait kenaikan PPN menjadi 12% maka akan terus terjadi penolakan kenaikan tarif PPN.

"Sehingga publik paham bahwa kenaikan PPN 12% ini kemudian tidak menjadi beban yang masyarakat hanya membayar kemudian tidak mendapatkan hasil apa-apa dari pajak yang dibayarkannya," ujar Rospita.

Komisioner Komisi Informasi DKI Jakarta Agus Wijayanto Nugroho menambahkan, pihaknya ingin mendorong Kemenkeu agar menjelaskan ke publik terkait alasan kenaikan tarif PPN hingga dampaknya kepada masyarakat. 

Agus tidak menampik bahwa tarif kenaikan PPN menjadi 12% merupakan amanat UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Sri Mulyani juga sudah menyatakan kenaikan tarif PPN berguna untuk menjaga kesehatan APBN.

"Tapi kalau kebutuhan untuk masyarakat sendiri bagaimana? Terus skemanya masyarakat yang terdampak itu apa? Sehingga kompensasinya apa? Nah itu sebenarnya yang suara-suara publik yang ditangkap oleh Komisi Informasi," ujar Agus pada kesempatan yang sama.

Seruan Penolakan PPN 12%

Beberapa waktu belakangan, muncul seruan penolakan kenaikan tarif PPN. Contohnya, sebuah petisi bertajuk Pemerintah, Segera Batalkan Kenaikan PPN! di laman change.org.

Petisi tersebut dibuat pada Selasa (19/11/2024) oleh pengguna bernama Bareng Warga. Setelah tiga hari, hingga Jumat (22/11/2024) pukul 14.28 WIB, petisi tersebut telah ditandatangani oleh 4.915 orang.

Tidak hanya warganet, para pakar juga menyatakan seruan serupa. Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Fadhil Hasan, misalnya, menyarankan pemerintah untuk menerapkan pajak orang super kaya dan windfall profit tax atau pajak 'rezeki nomplok' untuk mengerek penerimaan negara, daripada menaikkan tarif PPN dari 11% menjadi 12% tahun depan.

Dia meyakini kenaikan tarif PPN akan lebih banyak membawa mudarat daripada maslahat ke perekonomian, terutama pada saat terjadi penurunan daya beli masyarakat seperti belakangan ini.

Fadhil menjelaskan PPN merupakan pajak yang berdampak ke seluruh lapisan masyarakat—kelas bawah, menengah, hingga atas. Oleh sebab itu, sambungnya, sangat beresiko menaikkan tarif PPN ketika ekonomi sedang lesu.

Di samping itu, dia tidak menampik bahwa pemerintah perlu mendapatkan lebih banyak penerimaan negara untuk biayai berbagai program ambisius pemerintah baru Presiden Prabowo Subianto.

Alumnus Iowa State University ini pun menyarankan akan lebih baik apabila pemerintah memajaki kelompok masyarakat tertentu untuk menaikkan pendapatan negara. Dalam konteks saat ini, masyarakat yang tidak terlalu terdampak adalah kelas atas.

"Yang super rich [super kaya] itu, itu harus ditingkatkan karena ada masalah keadilan juga di sini. Juga kalau misalnya kalau super rich ini ditingkatkan pajaknya, itu tidak akan memberikan dampak [negatif] ke perekonomian secara keseluruhan," katanya dalam Seminar Nasional Proyeksi Ekonomi Indonesia 2025 di Jakarta Pusat, Kamis (21/11/2024).

Selain itu, dia juga menyarankan penerapan pajak anomali keuntungan komoditas (windfall profit tax). Secara sederhana, Fadhil mengibaratkan windfall profit tax sebagai pajak 'rezeki nomplok'.

Dia menjelaskan windfall profit tax sebagai pajak yang dikenakan kepada industri yang mendapat keuntungan berlebih tanpa melakukan usaha-usaha tertentu.

Contohnya, ketika secara mendadak harga komoditas minyak bumi atau batu bara meningkatkan karena gejolak geopolitik. Otomatis, sambungnya, profit industri dalam negerinya yang terkait sektor minyak atau batu bara akan meningkat.

Hanya saja, keuntungan tersebut diraih tanpa ada upaya yang dilakukan secara mandiri oleh industri yang bersangkutan, tetapi misalnya lebih karena ada situasi geopolitik yang memanas seperti perang di negara-negara produsen minyak bumi.

"Ini kan sebenarnya mereka kejatuhan, kedapatan keuntungan tanpa usaha apapun itu, rezeki nomplok. Ya, harusnya mereka juga dikenakan tambahan pajak, wajar-wajar saja," jelas Fadhil.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper