Bisnis.com, JAKARTA — Akademisi menyarankan agar pemerintahan Prabowo Subianto—Gibran Rakabuming Raka bisa meniru kebijakan strategis China hingga Vietnam untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8%.
Direktur International Trade Analysis and Policy Studies (ITAPS) FEM IPB University Sahara mengatakan bahwa China dan Vietnam memiliki pertumbuhan ekonomi di rentang 6–9%. Bahkan, dia juga menyebut kedua negara ini bisa menjadi acuan untuk Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi 8%.
Untuk Vietnam, misalnya, memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi di kisaran 6–7%. Sementara itu, china juga memilki pertumbuhan ekonomi yang bertahan di angka 8%.
“China, kami jadikan benchmark untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8%. China itu 9% [pertumbuhan ekonomi] sudah sering, dan 8% pertumbuhan ekonomi relatif lebih stabil di tahun-tahun yang sebelumnya,” kata Sahara dalam acara Gambir Trade Talk bertajuk ‘Peluang dan Tantangan Peningkatan Kompleksitas Ekspor Produk Pertanian Indonesia’ di Jakarta, Kamis (17/10/2024).
Menariknya, Sahara juga mengungkap bahwa hasil penelitian yang menunjukkan semakin maju suatu negara, maka nilai economic complexity index (ECI) juga akan semakin tinggi.
Perlu diketahui, ECI merupakan ukuran yang digunakan untuk mengukur tingkat kompleksitas ekonomi suatu negara berdasarkan keragaman dan kecanggihan produk yang dihasilkan. Bahkan, negara berpendapatan tinggi seperti Jepang, Amerika, dan Singapura memiliki nilai ECI yang tinggi.
Baca Juga
ECI sendiri mempertimbangkan dua faktor utama. Pertama, keragaman produk (diversity), mengukur seberapa banyak jenis produk yang dihasilkan oleh suatu negara. Kedua, kecanggihan produk (product sophistication) dengan mengukur seberapa rumit atau berteknologi tinggi produk yang dihasilkan oleh suatu negara.
Misalnya saja, pada sektor pertanian, kata Sahara, jika Indonesia hanya sekadar mengekspor biji kopi mentah, maka nilainya akan jauh lebih rendah dibandingkan mengekspor kopi olahan premium. Sahara pun menyebut, ekspor biji kakao nilainya jauh lebih rendah dibandingkan ekspor coklat premium.
“Selama ini kita banyak mengekspor biji kakao dan kita mengkonsumsi coklat premium yang diperoleh dari negara lain,” katanya.
Jika dibandingkan kompleksitas ekspor Indonesia dengan China dan Vietnam, pada 2022, komposisi produksi ekspor Indonesia masih didominasi oleh komoditas yang berbasis pada sumber daya alam, baik sumber energi seperti batu bara dan gas, maupun bahan baku manufaktur seperti bijih besi dan tembaga. Serta, palm oil untuk produk agroindustri.
“Sementara kalau kita bandingkan struktur ekspor China dan Vietnam, mereka sudah berbasiskan pada produk manufaktur berteknologi dan bernilai tambah tinggi,” ungkapnya.
Misalnya China, lanjut dia, telah mengekspor broadcasting equipment, integrated circuit elektronik, dan komputer. Sama halnya dengan Vietnam.
Dari sisi struktur impor, dia mengungkap bahwa produk utama yang diimpor Indonesia selain migas terdiri dari produk manufaktur berteknologi tinggi mencakup elektronik, monbil, mesin. Sementara produk agroindustri yang diimpor terdiri dari cereals, oilseed, dan gula.
Sementara itu, produk yang semakin banyak diimpor Indonesia yang menunjukkan pertumbuhan di atas rata-rata di antaranya produk plastik, mesin, produk optic, dan fotografi.