Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom memberikan usulan variabel yang bisa menjadi pertimbangan pemerintah sebelum menetapkan kenaikan tarif cukai di masa mendatang.
Ekonom sekaligus Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Candra Fajri Ananda mengatakan upaya pemerintah yang tidak menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada 2025 bisa memberikan ruang lebih bagi industri tembakau untuk berkontribusi pada penerimaan cukai dan penyerapan tenaga kerja.
Menurutnya, penaikan tarif cukai dalam beberapa tahun belakangan hingga mencapai dua digit justru menimbulkan dampak negatif terhadap kinerja penerimaan negara dari CHT. Kenaikan cukai sudah melebihi ambang batas apabila menggunakan pendekatan Kurva Laffer.
“Kenaikan tarif cukai [hasil tembakau] di masa depan tentu harus mempertimbangkan variabel-variabel lain, tidak hanya dari sisi kesehatan saja,” kata Candra dalam keterangannya, Kamis (3/10/2024).
Dia menyebutkan variabel lain tersebut antara lain daya beli, pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan pendapatan per kapita masyarakat.
Candra menilai wacana aturan kemasan rokok polos tanpa merek pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) bisa berdampak negatif bagi industri rokok legal dan sektor terkait lainnya.
Baca Juga
"Kemasan [rokok polos] tanpa merek dapat mengurangi daya saing produk dan menghilangkan identitas visual," jelasnya.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Segara Institute, Piter Abdullah, menuturkan kebijakan kenaikan cukai secara eksesif itu tidak efektif dalam mengendalikan konsumsi rokok.
"Jika pemerintah tidak melakukan langkah-langkah lainnya, maka masyarakat akan melakukan downtrading, mereka membeli rokok yang lebih murah atau rokok ilegal yang dalam tanda kutip tidak bercukai," jelasnya.
Dia mengatakan mengingatkan pemerintah bahwa kebijakan kenaikan cukai yang tidak disertai dengan pengawasan dan pengendalian yang bersifat edukatif dapat semakin mendorong peralihan konsumsi ke rokok ilegal secara lebih cepat.