Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Bursa Saham Asia Kompak Loyo pada Awal Pekan

Mengutip Bloomberg pada Senin (9/9/2024), sebagian besar bursa saham di Asia terpantau berada di zona merah.
Papan saham elektronik menampilkan Nikkei 225 Stock Average di salah satu perusahaan sekuritas di Tokyo, Jepang, Senin, 5 Agustus 2024./Bloomberg-Noriko Hayashi
Papan saham elektronik menampilkan Nikkei 225 Stock Average di salah satu perusahaan sekuritas di Tokyo, Jepang, Senin, 5 Agustus 2024./Bloomberg-Noriko Hayashi

Bisnis.com, JAKARTA – Pasar saham Asia merosot ke level terendah tiga minggu pada perdagangan Senin (9/9/2024) dengan Jepang memimpin penurunan, setelah data pekerjaan AS menambah kekhawatiran bahwa Federal Reserve (The Fed) mungkin menunggu terlalu lama untuk menurunkan suku bunga.

Mengutip Bloomberg pada Senin (9/9/2024), sebagian besar pasar saham di Asia terpantau berada di zona merah. Indeks Nikkei 225 merosot 2,25% ke level 35.454,26, atau terendah dalam sebulan. Koreksi tersebut diakibatkan oleh kenaikan yen baru-baru ini yang mengurangi prospek pendapatan bagi eksportir di tengah pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dari perkiraan. 

Sementara itu, indeks Kospi Korea Selatan juga turun 1,3% ke level 2.511,08, sedangkan indeks S&P/ASP 200 Australia terkoreksi 0,82% ke level 7.947,60. Tren pelemahan pada hari ini mendorong indeks saham Asia-Pasifik ke level terendah sejak 16 Agustus 2024. 

Sementara itu, nilai mata uang Yen, yang telah meningkat karena kenaikan suku bunga Bank of Japan pada bulan Juli dan ekspektasi penurunan suku bunga The Fed, diperdagangkan hanya di bawah 143 per dolar.

Tanda-tanda melemahnya perekonomian AS – yang berpotensi meluas ke negara-negara yang bergantung pada ekspor di Asia – memicu kekhawatiran di kawasan ini. Pasar kerja AS nampaknya mulai melemah, perekonomian China masih lesu dan euforia investor terhadap produsen chip termasuk Nvidia Corp. semakin berkurang, sehingga menambah tantangan.

Hebe Chen, analis di IG Markets Ltd menjelaskan pasar saham Asia, terutama di wilayah yang didorong oleh teknologi seperti Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan, bersiap menghadapi badai karena perekonomian mereka sangat sensitif terhadap penurunan global yang sedang terjadi.

“Jika awan gelap dari kesulitan perekonomian AS menyebar secara global, mata uang yang sensitif terhadap risiko seperti Aussie akan segera berada di bawah tekanan yang parah,” katanya.

Laporan pekerjaan AS yang mengecewakan menyebabkan aksi jual di saham Wall Street pada hari Jumat. Imbal hasil obligasi AS atau US Treasury  tenor dua tahun, yang lebih sensitif terhadap kebijakan moneter, kehilangan sebagian keuntungannya pada Jumat lalu .

Sementara itu, nilai mata uang dolar AS terpantau menguat pada Senin. Obligasi Australia dan Selandia Baru mengikuti pergerakan tersebut.

Di negara lain di Asia, aset China akan menjadi fokus seiring upaya para pejabat untuk meningkatkan sentimen dengan menghapus pembatasan kepemilikan asing di sektor manufaktur dan kesehatan. Saham Seven & i Holdings Co. akan diawasi dengan ketat di tengah spekulasi tawaran pengambilalihan dari Alimentation Couche-Tard Inc. 

Bank sentral China, The People’s Bank of China (PBOC) terus menahan pembelian emasnya selama empat bulan di bulan Agustus, sebuah tanda lebih lanjut bahwa harga emas yang mendekati rekor tertinggi mengurangi permintaan bank sentral global.   

Pada komoditas lain, bijih besi turun di bawah $90 per ton untuk pertama kalinya sejak akhir tahun 2022, sementara minyak naik dari penutupan terendah sejak tahun 2021.

Bulan September terbukti menjadi bulan yang bergejolak bagi pasar karena saham dan komoditas global merosot di tengah kekhawatiran lemahnya pertumbuhan global. Kegelisahan yang lebih besar mungkin terjadi karena data inflasi dan harga produsen China pada Senin malam mungkin menyoroti kelesuan ekonomi yang sulit diatasi oleh para pembuat kebijakan. 

Para pedagang minggu ini akan terus mencermati data inflasi AS seiring meningkatnya kekhawatiran bahwa The Fed telah menunggu terlalu lama untuk menurunkan suku bunga seiring dengan meningkatnya risiko resesi. 

Menteri Keuangan Janet Yellen pada akhir pekan berusaha meredam kekhawatiran, melihat tidak ada lampu merah untuk sistem keuangan dan menegaskan kembali pandangannya bahwa perekonomian AS telah mencapai titik lemah bahkan ketika pertumbuhan lapangan kerja melemah. 

Sementara itu, Gubernur Fed Christopher Waller mengatakan dia berpikiran terbuka mengenai potensi penurunan suku bunga yang lebih besar.

Diana Mousina, Deputy Chief Economist di AMP Ltd. Menyebut, komentar The Fed setelah data ketenagakerjaan tidak menunjukkan adanya urgensi untuk segera menurunkan suku bunga sebesar 50 basis poin. 

“Jadi, penurunan suku bunga sebesar 25 basis poin lebih mungkin terjadi pada bulan September, dengan risiko penurunan suku bunga yang lebih besar jika data menunjukkan perlunya penurunan suku bunga,” katanya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Sumber : Bloomberg
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper