Bisnis.com, JAKARTA — Deflasi empat bulan beruntun, yang menjadi rekor terparah sejak 1998, menimbulkan tanda tanya soal kondisi perekonomian saat ini. Terlebih, pemerintah baru saja mengumumkan bahwa jumlah kelas menengah terus berkurang, padahal menjadi penopang utama konsumsi dan ekonomi Indonesia.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Pudji Ismartini menjelaskan bahwa pada Agustus 2024 terjadi deflasi 0,03% secara bulanan (month-to-month/MtM). Deflasi itu sejalan dengan penurunan indeks harga konsumen atau IHK dari 106,09 pada Juli 2024 menjadi 106,06 pada Agustsus 2024.
Makanan minuman dan tembakau menjadi kelompok pengeluaran penyumbang deflasi bulanan terbesar pada Agustus 2024, yakni sebesar 0,52% dan dengan andil 0,15%. Lalu, komoditas bawang merah, daging ayam ras, tomat, dan telur ayam ras menjadi penyumbang utama deflasi 2024 dengan andil deflasi masing-masing sebesar 0,08%, 0,03% 0,03%, dan 0,02% secara bulanan.
"Deflasi Agustus 2024 ini lebih rendah dibandingkan Juli 2024 dan merupakan deflasi keempat pada 2024," ujar Pudji dalam konferensi pers, Senin (2/9/2024).
BPS menilai bahwa fenomena deflasi dalam empat bulan terakhir lebih ditunjukkan dari sisi suplai atau penawaran. Panen beberapa komoditas pangan dan hortikultura, seperti bawang merah yang masuk masa panen raya.
Selain itu, turunnya biaya produksi juga turut andil dalam mendorong deflasi, seperti bagi komoditas telur ayam ras dan daging ayam ras.
Baca Juga
Pergerakan inflasi dan deflasi pada tahun berjalan dapat dicermati dari komponen-komponen pembentuknya, seperti inflasi inti (core inflation), inflasi harga diatur pemerintah (administered price), dan inflasi barang bergejolak (volatile goods).
Berdasarkan data BPS, inflasi inti secara bulanan tercatat bergerak di rentang 0,10%—0,29% sepanjang Januari—Agustus 2024 atau tidak pernah mengalami deflasi.
Sementara itu, komponen harga diatur pemerintah bergerak di rentang -0,48%—0,62%. Deflasi terjadi pada Januari 2024 (-0,48% MtM) dan Mei 2024 (-0,13% MtM), sedagkan pada Agustus 2024 mengalami inflasi 0,23%.
Deflasi beruntun terjadi pada komponen barang bergejolak atau volatile goods, yang juga sering disebut volatile foods. Komponen ini mulai mengalami deflasi pada April 2024 (-0,31% MtM) hingga yang terdalam terjadi pada Juli 2024 (-1,92% MtM), sehingga deflasi barang bergejolak telah terjadi lima bulan secara beruntun.
BPS juga mengungkap bahwa masyarakat menunjukkan perilaku menahan konsumsi demi menjaga daya beli.
"Untuk menjaga daya beli, khususnya untuk konsumsi makanan maka diduga rumah tangga akan menahan konsumsi nonmakanan, sehingga terlihat pada turunnya permintaan atau demand konsumsi nonmakanan," ujar Pudji.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyampaikan tingkat deflasi yang terjadi dalam empat bulan terakhir menjadi sinyal bahwa ekonomi tengah mengalami soft landing.
Bhima menegaskan, rendahnya tingkat inflasi atau bahkan mencatatkan deflasi bukanlah suatu indikator perekonomian yang baik bila terjadi di negara berkembang yang memiliki 47,8 juta orang kelas menengah ini.
Bahkan, hal ini menjadi suatu tanda bahwa konsumsi rumah tangga, yang menjadi daya topang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, tampak lesu.
"Negara berkembang yang alami deflasi menunjukkan kondisi konsumsi rumah tangganya melemah," ungkapnya kepada Bisnis, Senin (2/9/2024).
Lebih jauh lagi, deflasi yang terjadi tersebut turut menjadi sinyal bahwa pertumbuhan ekonomi akan sulit melebihi 5%. Bahkan terindikasi adanya resesi atau perlambatan ekonomi dalam beberapa bulan.
Meski demikian, Bhima menyampaikan bahwa resesi tidak secara langsung memiliki arti krisis ekonomi seperti 1998 yang sifatnya hard landing. Dalam hal ini, kondisi ekonomi terpantau soft landing, yakni tumbuh tetapi terus melambat.
Secara umum, rendahnya dorongan inflasi sisi permintaan yang ditambah melandainya harga pangan menjadi penyebab utama deflasi Agustus 2024 yang sebesar 0,03% (MtM).
Kelas Menengah Kian Gundah
Melihat isu hangat yang saat ini terjadi terkait menurunnya jumlah kelas menengah, Bhima meyakini bahwa kondisi itu turut memiliki andil terhadap kinerja Indeks Harga Konsumen (IHK).
"Kelas menengah yang jumlahnya menyusut membuat demand pull inflation-nya kecil. Masyarakat tahan belanja barang sekunder dan tersier karena harga kebutuhan pokok tidak bisa diimbangi dengan naiknya pendapatan," tutur Bhima.
BPS mencatat bahwa pada 2019 terdapat 57,33 juta kelas menengah atau 21,45% dari total penduduk Indonesia. Namun, kini jumlah kelas menengah menjadi 47,85 juta atau 17,13% dari total penduduk Indonesia.
Pada periode yang sama, terjadi peningkatan jumlah dan persentase kelompok penduduk rentan miskin (dari 54,97 juta menjadi 67,69 juta atau dari 20,56% menjadi 24,23%) dan kelompok menuju kelas menengah (dari 128,85 juta menjadi 137,50 juta atau dari 48,2% menjadi 29,22%).
Artinya, 9,4 juta penduduk kelas menengah hilang selama 2019—2024, indikasinya karena mereka turun ke kelompok menuju kelas menengah (aspiring middle class). Bertambahnya kelompok rentan miskin memang mengindikasikan banyaknya penduduk yang naik keluar dari batas kemiskinan, tetapi ada pula kemungkinan kelompok aspiring middle class yang turun menjadi rentan miskin karena tekanan ekonomi.
"Kami mengidentifikasi masih ada scaring effect dari pandemi Covid-19 terhadap ketahanan kelas menengah," ujar Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti, Jumat (30/8/2024).
Deflasi Terburuk sejak 1998, Pemerintah Tak Khawatir
BPS mencatat bahwa fenomena deflasi bukan hal baru karena pernah terjadi, bahkan dalam rentang waktu yang lebih panjang. Misalnya, setelah krisis keuangan 1998 terjadi deflasi hingga tujuh bulan berturut-turut.
"Sejak Maret 1999 sampai September 1999. Ini sebagai akibat dari depresiasi nilai tukar dan penurunan harga beberapa jenis barang," ujar Pudji.
Berdasarkan data historis BPS, Indeks Harga Konsumen kala itu bahkan sempat mencatatkan deflasi lebih dari 1%.
Bukan hanya periode tersebut, pada Desember 2008 dan Januari 2009, selama krisis finansial global, BPS juga mencatat adanya deflasi karena penurunan harga minyak dunia dan permintaan domestik yang melemah.
Belum lama ini pada Covid-19, BPS juga mencatat adanya tren serupa yang terjadi dalam tiga bulan beruntun. Deflasi bulanan terjadi pada Juli, Agustus, dan September 2020 yang masing-masing sebesar 0,1%, 0,05%, dan 0,05%.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti mengaku tidak khawatir dengan tren deflasi yang terjadi selama Mei—Agustus 2024 atau empat bulan berurut-urut.
Sri Mulyani berpendapat, deflasi yang terjadi belakangan karena adanya koreksi penurunan harga pangan. Oleh sebab itu, tidak perlu ada yang dikhawatirkan.
"Kalau deflasi berasal dari harga pangan, itu kan memang diupayakan dari pemerintah untuk menurunkan terutama waktu itu inflasi dari unsur harga pangan kan cukup tinggi gara-gara terutama dari beras, kemudian El Niño. Jadi kalau penurunan koreksi terhadap harga pangan itu menjadi tren yang positif," ujar Sri Mulyani di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Senin (2/9/2029).
Lagipula, sambungnya, inflasi inti tetap positif. Dia pun meyakini tidak terjadi penurunan daya beli masyarakat, meski tetap harus diantisipasi.
"Tapi kita akan tetap waspada ya," tutup bendahara negara tersebut.
Senada, Destry meyakini deflasi empat bulan berurut-urut belakang tersebut bukan alarm tanda bahaya. Menurutnya, deflasi tersebut bukan karena penurunan daya beli masyarakat.
Dia menjelaskan, deflasi terjadi karena pemerintah telah berhasil melakukan pengendalian harga pangan usai sempat terjadi inflasi yang cukup besar pada awal 2024.
"Lebih ke pangan ya [bukan penurunan daya beli masyarakat], kan pangannya deflasi gede," kagak Destry usai rapat bersama Komite IV DPD RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Senin (2/9/2024).