Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Sri Mulyani Beberkan Alasan Ekonomi AS Tak Ambruk Meski Cetak Banyak Dolar

Saat krisis pada 2008 dan 2009, bank sentral AS mencetak banyak dolar sebagai bentuk countercyclical untuk mendongkrak ekonomi yang lemah.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menghadiri Rapat Kerja Pengambilan Keputusan (PK) penambahan Penyertaan Modal Negara (PMN) APBN Tahun Anggaran 2024 bersama dengan Komisi XI. Dok Instagram @smindrawati
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menghadiri Rapat Kerja Pengambilan Keputusan (PK) penambahan Penyertaan Modal Negara (PMN) APBN Tahun Anggaran 2024 bersama dengan Komisi XI. Dok Instagram @smindrawati

Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjawab pertanyaan mahasiswa Universitas Indonesia (UI), terkait alasan Amerika Serikat (AS) yang mencetak banyak dolar tetapi tak terkena inflasi. 

Sri Mulyani menyampaikan meskipun begitu, AS pun saat ini terhantam inflasi dan membuat dunia terkejut, walaupun sudah berangsur melandai. 

“Kok AS bisa cetak uang banyak sekali tapi kena enggak inflasi juga? Inflasi kejadian tahun 2022-2023 dan sampai sekarang itu membuat terkejut juga,” ungkapnya dalam giat Kuliah Perdana: Pengantar Ekonomi yang disiarkan secara daring di kanal YouTube FEB UI, Senin (26/8/2024).

Bendahara Negara menjelaskan bahwa AS pernah mencetak uang dalam jumlah banyak sebagai langkah untuk menstabilkan ekonomi atau sebagai countercyclical.

Sebagaimana yang AS lakukan saat krisis yang terjadi pada 2008 dan 2009, bank sentral AS mencetak banyak dolar sebagai bentuk countercyclical untuk mendongkrak ekonomi yang lemah. 

“Kalau ekonomi lemes, dongkrak pakai moneter dengan menurunkan suku bunga dan cetak banyak uang kemudian ekonomi muter. Kalo fiskal pakai defisit, pakai utang,” jelasnya. 

Padahal, pada dasarnya terdapat risiko-risiko yang akan terjadi jika negara mencetak uang sebanyak-banyaknya. Seperti nilai mata uang akan turun, inflasi melonjak, bahkan dapat mendorong penarikan utang baru. 

Meski demikian, Sri Mulyani menjelaskan bahwa negara dengan ekonomi terbesar di dunia tersebut memiliki privilege atau hak istimewa yang tidak dimiliki negara lain bahkan dari jajaran G7 sekali pun. 

Pertama, AS sebagai ekonomi terbesar di dunia. Kedua, AS cukup banyak memiliki monopoli terhadap banyak sektor teknologi. Dalam kondisi ini, AS menggunakan dolar sebagai salah satu proxy power dalam geopolitik mereka.

Tak heran, banyak negara yang mengandalkan dolar karena belum memiliki bank sentral dengan reputasi yang baik. 

“Walaupun ekonomi AS itu sekitar 28% dari ekonomi dunia, penggunaan dolar 60%, tetapi sudah menurun sekarang 50an%,” ungkapnya. 

Munculnya China yang membeli banyak surat utang AS, membuat kedua negara ini tidak dapat dipisahkan. Alhasil, muncul kompetisi geopolitik antarkedua negara tersebut. 

Akibat kondisi ini pula, membuat negara-negara lain seperti Indonesia, mencari alternatif lain dalam penggunaan mata uang, agar tak bergantung pada negara-negara tersebut. 

Sebagaimana Bank Indonesia yang kini menggunakan Local Currency Settlement (LCS) atau  penyelesaian transaksi bilateral antara dua negara yang dilakukan dalam mata uang masing-masing negara di mana setelmen transaksinya dilakukan di dalam yurisdiksi wilayah negara masing-masing. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper