Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menilai rencana pemberian insentif fiskal dari relaksasi perpajakan tak serta merta mendorong kebangkitan industri yang tengah terkontraksi, khususnya tekstil dan alas kaki.
Plt Direktur Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Reni Yanita mengatakan industri tersebut lebih membutuhkan perlindungan pasar. Ketika produksi mampu dilakukan industri lokal, maka pemerintah semestinya tidak lagi membuka keran impor.
"Kalaupun ada insentif itu kan ketika dia untung, kalau tidak untung juga tidak akan berdampak banyak," kata Reni saat ditemui di Kantor Kemenperin, Selasa (20/8/2024).
Dia menyontohkan insentif tax holiday atau pengurangan tarif PPh badan yang hanya berlaku bagi industri yang memiliki keuntungan. Singkatnya, insentif tersebut tak akan berdampak diterapkan pada industri yang masih merugi.
Untuk mendorong peningkatan margin keuntungan usaha, industri harus memaksimalkan produksi dari utilisasi kapasitas yang dimiliki sehingga dapat berdaya saing di pasar dan meningkatkan pesanan karena harga produk lebih kompetitif.
"Kalau punya kapasitas mesin 100 tetapi bisa jualannya cuma 50, ongkos produksinya untuk 100, jualannya 50 kan pasti 2 kali lipat harga ke kita [konsumen]," terangnya.
Baca Juga
Sementara itu, Reni menyoroti kondisi IKM tekstil saat ini yang masih terkontraksi hal ini tampak dari pesanan yang tiba-tba ditunda. Pasalnya, relaksasi impor membuat industri lokal dibanjiri impor barang hilir.
Namun, Kemenperin mendorong melalui kegiatan pemasaran berupa pameran-pameran dalam negeri. Dengan harapan, masyarakat dapat melihat bahwa industri lokal lebih berkualitas dibandingkan produk impor meski harga nya lebih murah.
"Semangat nya kan untuk menggeliatkan lagi, kebetulan juga kemarin 17-an harapannya mulai banyak order, nah satu-satu nya kalau dibilang terus menggaungkan bahwa IKM kita juga produknya gak kalah," tuturnya.
Sebelumnya, BPS mencatat terdapat peningkatan impor pakaian jadi pada Juli 2024. Adapun, volume impor terjadi pada produk pakaian dan aksesoris rajutan (HS 61), serta produk pakaian dan aksesoris bukan rajutan (HS 62).
Secara bulanan, HS 61 naik 55,46% dan HS 62 naik 29,01%. sebagian besar impor pakaian jadi itu berasal dari China, Vietnam, Bangladesh, Hongkong dan Maroko.