Bisnis.com, JAKARTA — Peneliti Senior Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Deni Friawan melihat semakin menggunungnya utang berdampak pada ruang fiskal yang semakin sempit.
Bagaimana tidak, penarikan utang bahkan dapat dikatakan ‘gali lubang tutup lubang’ karena dilakukan untuk membayar bunga utang.
"Karena defisit yang selalu ada dan kondisi seperti itu, rasio utang dan besaran utang kita terhadap PDB semakin membesar. Hal ini terus terang saja akan semakin menyulitkan ruang fiskal bagi pemerintahan berikutnya," jelasnya dalam acara Media Briefing CSIS, Senin (19/8/2024).
Sebagaimana rencana pembayaran utang jatuh tempo tahun depan yang senilai Rp800,33 triliun dan ditambahkan dengan pembayaran bunga utang senilai Rp552,9 triliun. Artinya Rp1.353,23 triliun belanja APBN adalah untuk bayar utang.
Melihat dari rencana belanja dalam APBN 2025 senilai Rp3.613,1 triliun, alhasil sekitar 37,45% APBN justru digunakan untuk melaksanakan kewajiban utang.
Di sisi lain, defisit APBN tahun ini direcanakan semakin lebar ke angka 2,53% atau setara Rp616 triliun.
Baca Juga
Untuk membiayainya, pemerintah merencanakan penarikan utang pada 2025 di angka Rp775,9 triliun yang akan dipenuhi melalui penarikan pinjaman seinlai Rp133,3 triliun dan penerbitan surat berharga negara (SBN) senilai Rp642,6 triliun.
"Jadi perbedaan utang yang baru masuk kita dengan utang yang kita bayarkan bunga dan pokoknya itu makin mengecil," tuturnya.
Deni menyoroti, dalam 3 tahun ke depan, pemerintah setiap tahunnya memiliki kebutuhan sekitar Rp800 triliun untuk membayar utang jatuh tempo.
Pasalnya, profil jatuh tempo utang dalam tiga tahun ke depan akan mencapai puncaknya imbas dari penarikan utang yang lebih dari Rp1.000 triliun pada saat terjadi Covid-19.
Dampak dari pembayaran utang yang melonjak ini, ruang fiskal untuk Prabowo menjalankan janji-janji politiknya semakin sempit.
Nyatanya, sisa APBN untuk mendanai program-program tersebut hanya sekitar Rp2.259,87 triliun.