Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekonom: Jokowi Wariskan Kebijakan Utang Ugal-ugalan ke Prabowo

Ekonom menilai Presiden Jokowi telah mewariskan kebijakan utang yang ugal-ugalan, yang harus dilanjutkan pemerintah presiden Prabowo Subianto.
Presiden Joko Widodo mengenakan baju adat Betawi tiba untuk menghadiri Sidang Tahunan MPR, Sidang Bersama DPR dan DPD tahun 2024 di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8/2024).Antara/Dhemas Reviyanto
Presiden Joko Widodo mengenakan baju adat Betawi tiba untuk menghadiri Sidang Tahunan MPR, Sidang Bersama DPR dan DPD tahun 2024 di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (16/8/2024).Antara/Dhemas Reviyanto

Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom senior sekaligus Rektor Universitas Paramadina Didik J. Rachbini menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mewariskan kebijakan utang yang ugal-ugalan, yang mau tak mau harus dilanjutkan pemerintah presiden terpilih periode 2024—2029 Prabowo Subianto.

Didik menjelaskan, APBN 2025 diproyeksikan defisit 2,53% atau setara Rp616,2 triliun dari produk domestik bruto (PDB). Defisit tersebut, sambungnya, lebih dari tahun sebelumnya sehingga harus ditambal dengan utang.

"Selama 10 tahun masa pemerintahan Jokowi ini, kebijakan utang memang ugal-ugalan sehingga warisannya akan terbawa pada masa pemerintahan Prabowo," ujar Didik, Sabtu (17/8/2024).

Apalagi, ekonom Indef ini mengingatkan janji politik Prabowo tidak sedikit sehingga sulit bagi pemerintahannya kurangi ketergantungan pada utang untuk optimalkan penerimaan negara dari sektor-sektor yang ada.

Oleh sebab itu, Didik meyakini laju penerbitan surat utang negara akan terus meningkat sehingga suku bunga akan terus didorong naik. Akibatnya, dia menyatakan iklim makro ekonomi akan rusak.

Didik mencatat, Jokowi setidaknya akan mewariskan utang senilai Rp8.338 triliun kepada pemerintahan selanjutnya. Tak hanya itu, lanjutnya, pembayaran bunganya mencapai Rp498 triliun yang jauh lebih besar dari pos anggaran kementerian atau provinsi yang ada.

Dia pun menyarankan agar pemerintahan Prabowo lebih fokus tingkatkan penerimaan pajak daripada terus bergantung pada penerbitan SBN. Kendati demikian, pemerintah Prabowo juga harus berjibaku menjaga keseimbangan antara pengumpulan pajak sekaligus menjaga daya beli masyarakat.

Dalam konteks tersebut, Didik merasa faktor internal Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak ke dapan akan sangat menentukan. Menurutnya, reformasi perpajakan harus terus dilanjutkan termasuk digitalisasi dan perluasan basis pajak.

"Sektor apa saja yang harus digali? Tidak bisa tidak adalah sektor industri [non-migas], termasuk jasa, sebagai tiang utama. Tetapi sektor ini melorot dan tumbuh rendah serta mengalami stagnasi bertahun-tahun karena tidak ada sentuhan kebijakan. Jika pertumbuhan sektor ini bisa tumbuh 8-10 persen, maka pengumpulan pajak akan mendapat ruang yang leluasa," jelasnya.

Tak hanya itu, Didik merasa ke depan ekonomi digital, ekonomi kreatif, dan sektor pariwisata juga harus digenjot lagi. Sektor-sektor tersebut, sambungnya, punya peluang besar untuk menambah penerimaan pajak dengan perkembangan pesat e-commerce, fintech, dan layanan berbasis digital.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper