Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nasib Inflasi AS dan The Fed Jika Trump Kembali Jadi Presiden

Ekonom menilai inflasi AS berpotensi kembali meningkat dan memaksa The Fed melakukan pengetatan kebijakan jika Donald Trump terpilih kembali menjadi Presiden.
Mantan Presiden AS Donald Trump saat acara kampanye di Van Andel Arena di Grand Rapids, Michigan, Amerika Serikat, Sabtu (20/7/2024). Bloomberg/Emily Elconin
Mantan Presiden AS Donald Trump saat acara kampanye di Van Andel Arena di Grand Rapids, Michigan, Amerika Serikat, Sabtu (20/7/2024). Bloomberg/Emily Elconin

Bisnis.com, JAKARTA - Bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve tampaknya akan menghadapi tantangan baru jika calon presiden dari Partai Republik, Donald Trump, kembali menjadi Presiden. 

Para ekonom melihat agenda Trump seperti penetapan tarif perdagangan, mendeportasi jutaan pekerja tak berdokumen, dan kemungkinan pelebaran defisit, dapat kembali menghidupkan tekanan harga, yang mendorong bank sentral memberlakukan kebijakan moneter yang lebih ketat. 

Trump juga diperkirakan mengenakan tarif 10% secara menyeluruh pada barang-barang impor, bahkan produk-produk China juga diperkirakan dikenakan tarif yang lebih tinggi. Ini dapat menyebabkan lonjakan inflasi, sementara deportaasi akan meningkatkan upah bagi pekerja yang tersisa, sehingga menambah tekanan. 

Menurut Model Ekonomi Oxford, yang mengamati kemungkinan sikap kebijakan para kandidat, inflasi inti akan mencapai puncak antara 0,3 dan 0,6 poin persentase pada pemerintahan Trump nantinya, di atas yang diharapkan di bawah undang-undang dan kebijakan yang berlaku saat ini. 

Sebagai perbandingan, inflasi berlebih yang mungkin terjadi antara 0,1 hingga 0,2 poin persentase di bawah pemerintahan Demokrat yang dipimpin oleh Wakil Presiden Kamala Harris. Oxford dan lainnya memperkirakan Harris akan melanjutkan kebijakan ekonomi Biden.

Program Trump Bersifat Inflasioner

Ketua AS di Forum Lembaga Keuangan dan Moneter Resmi dan veteran Departemen Keuangan AS di bawah presiden Demokrat dan Republik, Mark Sobel, berpendapat bahwa program ekonomi Trump pada dasarnya bersifat inflasioner. 

“Tarif yang jauh lebih tinggi, kebijakan fiskal ekspansif, dan deportasi massal imigran: Semua faktor ini akan berpadu untuk menaikkan inflasi dan suku bunga lebih tinggi daripada yang seharusnya,” pungkasnya, seperti dikutip dari Reuters, Kamis (1/8/2024).

Kepala ekonom di KPMG AS, Diane Swonk, juga mengatakan bahwa kenaikan tarif Trump yang digabungkan dengan pembatasan “tajam” pada pekerja asing, menandakan kebangkitan inflasi yang berisiko memaksa The Fed mempertahankan suku bunga pada level ini dalam waktu yang lebih lama. 

Sementara itu, kepala strategi makro AS di TD Securities, Oscar Munoz, mengatakan bahwa pendekatan perdagangan dari Biden dan Harris masih jauh dari apa yang diusulkan Trump terkait kebijakan tarif impor. 

Menurutnya, di bawah kebijakan perdagangan pemerintahan Harris nantinya, kebijakan-kebijakan tersebut diperkirakan tidak mewakili risiko berarti bagi inflasi dan pertumbuhannya. 

Analis Evercore ISI yakin bahwa The Fed akan merespons lebih lambat daripada pasar terhadap prospek baru jika Trump menang. Namun, kemenangan Trump dapat mengurangi pemangkasan suku bunga yang diharapkan pada 2025, bahkan berpotensi adanya kenaikan suku bunga. 

Tak hanya itu, ketika ditanya mengenai bagaimana agenda kebijakan Trump menentang ekspektasi ekonom akan inflasi yang lebih tinggi, sekretaris Pers Nasional kampanye Trump Karoline Leavitt berkata bahwa rakyat AS tidak membutuhkan ekonom untuk memberitahu presiden mana yang memberi mereka lebih banyak penghasilan.

"Saat Presiden Trump kembali ke Gedung Putih, ia akan menjalankan kembali agendanya yang pro-pertumbuhan, pro-energi, dan pro-lapangan kerja untuk menurunkan biaya hidup dan mengangkat derajat semua warga Amerika,” jelasnya. 

Respons Trump Terhadap The Fed

Jika melihat Trump selama ia menjabat, Trump dikenal sering berselisih dengan Powell. Namun, ia baru-baru ini menuturkan bahwa ia tidak akan mencoba untuk memecat Powell sebelum masa jabatannya berakhir pada 2026. 

Profesor ekonomi dan ilmu politik di Universitas California, Berkeley, Barry Eichengreen, menuturkan bahwa ada kemungkinan Trump akan berusaha merombak The Fed jika menentang efek samping dari pilihan kebijakannya. 

“Pada Mei 2026, Presiden Trump akan memiliki opsi yang lebih jelas untuk mencalonkan ketua Fed yang lebih patuh” jelasnya. Sosok ini diperkirakan tidak akan bertindak untuk mengimbangi tekanan inflasi yang meningkat. 

Pakar kebijakan perdagangan di Cato Institute, Scott Lincicome, menuturkan bahwa mungkin ada beberapa respons pasar untuk melemahkan independensi The Fed. Hal ini mungkin mendorong pejabat terpilih untuk mempertimbangkan kembali tindakan tersebut.

"Jika kemenangan Trump tampak mungkin, The Fed perlu mempertimbangkan apakah pemangkasan berdasarkan data saat ini masuk akal jika tindakan fiskal yang mungkin akan menyebabkan mereka perlu mengubah kebijakan untuk melawan guncangan inflasi jika kebijakan yang diumumkannya kepada publik benar-benar berlaku," pungkas mantan gubernur The Fed Boston Eric Rosengren. 

Namun, presiden The Fed Richmond Thomas Barkin mengatakan bahwa akan sangat sulit untuk membuat kebijakan saat ini yang bertentangan dengan harapan tindakan pemerintah di masa mendatang. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper