Konsekuensi Utang
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal melihat adanya konsekuensi atas beban utang yang harus Indonesia terima jika kebijakan tersebut dieksekusi.
Pasalnya, profil utang jatuh tempo Indonesia dalam tiga tahun mendatang, 2025 hingga 2027, akan mencapai Rp2.400 triliun atau hampir setara dengan jumlah APBN tahun 2019 yang senilai Rp2.461,1 triliun.
Faisal melihat kebijakan ini hanya dapat diambil jika kondisi perekonomian Indonesia baik dan sehat.
“Defisit 3% memungkinkan kalau ekonomi kita sehat, menggali penerimaan itu baik, bukan hanya penerimaan dari menengah bawah tapi perusahaan besar yang harus dikejar,” ungkapnya kepada Bisnis, Rabu (10/7/2024).
Padahal, Indonesia telah melihat bukti dari persepi pasar akibat adanya rencana Prabowo untuk mengerek rasio utang pemerintah hingga 50% pada bulan lalu. Alhasil, rupiah mengalami pelemahan yang cukup dalam.
Dirinya tidak dapat memungkiri bila ke depannya akan ada kejadian serupa dari rencana Prabowo di masa mendatang.
“Kita merasakan pelemahan nilai tukar bukan hanya karena The Fed, tapi faktor internal. Persepsi pasar kepada kemampuan pemerintah baru untuk mengelola displin fiskal. Ini dampak langsung yang sudah kita rasakan,” jelasnya.
Padahal, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa presiden terpilih Prabowo Subianto telah berkomitmen untuk menjaga defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 di bawah 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
“Kami sudah menyampaikan juga kepada presiden terpilih Bapak Prabowo dan beliau juga memberikan keyakinan arahan bahwa beliau commit defisit di bawah 3%,” ujarnya dalam konferensi pers di kantor pusat Direktorat Jenderal Pajak, Senin (24/6/2024).
Angka tersebut sebagaimana postur APBN 2025 yang telah disepakati dalam Panja A Badan Anggaran (Banggar) pada pertengahan Juni, di mana defisit tahun depan akan berada pada rentang 2,29% hingga 2,82% dari PDB atau di bawah 3%.