Bisnis.com, JAKARTA – Institute for Development of Economics and Finance (Indef) buka suara soal program makan siang gratis atau makan bergizi gratis Presiden terpilih Prabowo Subianto vs megaproyek Ibu Kota Nusantara (IKN) Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.
Direktur Pengembangan Big Data Indef Eko Listiyanto menyampaikan program makan bergizi gratis akan lebih besar mendorong pertumbuhan ekonomi ketimbang pembangunan IKN.
“Kalau saya disuruh milih salah satu [makan bergizi gratis atau IKN], saya akan milih makan bergizi,” tegasnya dalam Diskusi Publik Indef, Kamis (4/7/2024).
Eko menuturkan alasannya, yakni ide program makan siang gratis merupakan gagasan asli dari Prabowo Subianto bersama Gibran Rakabuming.
Apabila desain kelembagaan yang bagus dari program ini terbentuk, dia menuturkan program tersebut lebih jelas menstimulasi demand atau permintaan ekonomi domestik.
"Mengingat, kontribusi pengeluaran dari rumah tangga memiliki porsi yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi," jelasnya.
Sebagai catatan, dia mengatakan hal tersebut dapat terjadi apabila pelaku UMKM terlibat langsung di masing-masing wilayah. Meski anggaran yang baru digelontorkan senilai Rp71 triliun untuk tahun depan, dapat dimulai secara targeted terhadap penerima bantuan ini.
“Dari kajian Indef, IKN hanya akan mendorong pertumbuhan ekonomi sedikit saja itu pun di daerah sekitar Kalimantan,” tuturnya.
Meski demikian, Indef mengingatkan eksekusi dari penyaluran makan bergizi gratis harus dilakukan UMKM di masing-masing wilayah.
Apabila harus dari luar wilayah bahkan impor, hal tersebut justru akan menjadi bumerang bagi pemerintah.
“Jangan sampai impor, neraca transaksi berjalan bakal jebol, Anda mendorong makan siang tapi Anda melemahkan nial tukar, itu bukan pilihan,” jelasnya.
Fiskal Ugal-ugalan
Pada kesempatan yang sama, Direktur Kolaborasi Internasional Indef Imaduddin Abdullah menuturkan saat ini seharusnya bukan permasalahan pemilihan antara makan bergizi gratis ataupun pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
“Saya pikir ini jadi evaluasi ke depan bagi pemerintah 5 tahun ke depan, tidak lagi bisa mengelola fiskal terutama untuk perencanaan program pembangunan yang besar secara ugal-ugalan,” ujarnya.
Seperti halnya pada awal pembangunan IKN yang akan bersumber dari 20% Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sementara sisanya dari swasta. Namun hingga sekarang, nyatanya masih minim investor.
Dia memberi contoh proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung yang awalnya tegas tidak akan menggunakan dana pemerintah, ujungnya kembali lagi kepada APBN dalam penjaminan.
“Ini menujukkan bahwa pengeloalan fiskal yang tidak kredibel,” tegasnya.
Padahal, anggaran untuk proyek-proyek jumbo itu dapat dialokasikan ke sektor-sektor yang lebih produktif. Untuk itu, dirinya menekankan agar menjadi perhatian pemerintah yang akan datang agar kesalahan yang lama tidak lagi terjadi.
Sebelumnya, kakak ipar Prabowo Subianto, Soedradjad Djiwandono lebih memilih program makan siang gratis ketimbang proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) yang diusung Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Gubernur Bank Indonesia (BI) Periode 1993-1998 itu menjelaskan dirinya bukan tidak setuju terhadap program IKN. Menurutnya, wacana perpindahan ibukota sudah lama berkembang. Namun, dia mengingatkan proyek IKN membutuhkan perencanaan pembiayaan yang matang.
Masih persoalan IKN, Direktur Program Indef Eisha M. Rachbini juga menekankan bahwa pemerintah tidak akan sanggup membiayai proyek tersebut sendirian. Saat ini, pemerintah hanya menyediakan 20% dari total kebutuhan pembangunan ibu kota baru.
"Sekarang kalau kita mau utang terus-terusan, kita mau membangun ibu kota [IKN] dengan minjem?" katanya setelah acara Mid Year Banking and Economic Outlook Infobank di Jakarta, Selasa (2/7/2024).
Wakil Rakyat pun menilai pernyataan Sudrajad itu lebih realistis untuk dijalankan atau direalisasikan dalam jangka pendek.
Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi PDIP Hendrawan Supratikno menjelaskan proyek IKN merupakan proyek jangka panjang. Menurutnya, penyelesaian membangun wilayah menjadi sebuah kota membutuhkan waktu 15 hingga 20 tahun.
“Belajar dari pengalaman negara-negara yang memindahkan ibu kota, ini kan betul-betul brand new. Satu wilayah baru yang jumlah penduduknya belum memadai, infrastruktur belum memadai, ekosistem ibu kotanya belum terbangun. Jadi yang dikatakan pak Sudrajad itu lebih realistis,” katanya saat ditemui di Kompleks Parlemen, Rabu (3/7/2024).