Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menyebut fundamental ekonomi Indonesia tetap kuat di tengah tantangan pengaruh suku bunga global dan pelemahan nilai tukar rupiah.
Airlangga menyatakan pemerintah sudah mengusulkan target defisit anggaran pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 dalam kisaran 2,45%-2,82% untuk mengantisipasi pembayaran bunga utang pada tahun depan yang diperkirakan meningkat karena pengaruh suku bunga global dan tekanan nilai tukar dolar AS.
Airlangga optimistis defisit anggaran APBN Indonesia bisa dipertahankan di bawah 3%. Dengan rancangan defisit tersebut, diharapkan juga dapat menjadi dorongan bagi semua pihak untuk tetap optimis terhadap kondisi perekonomian nasional saat ini dan ke depannya.
“Baru jadi alarm itu kalau kita lihat defisit anggaran di negara-negara Uni Eropa (UE) yang rata-rata 5%-7%. Alarmnya bunyinya di Eropa bukan di Indonesia, Indonesia masih di bawah 3%,” kata Menko Airlangga saat menjawab pertanyaan dari para jurnalis di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta (21/6/2024).
Lebih lanjut, Menko Airlangga juga menyampaikan bahwa Bank Sentral UE sudah mengingatkan negara-negara anggotanya untuk memelihara tingkat defisit anggaran di bawah 3%.
“Anda bisa lihat negara Jerman, Prancis, Italia, itu [defisitnya] antara 5%-7%, dan Indonesia di bawah 3%, jadi tidak perlu panik. Mereka sudah dapat peringatan dari Bank Sentral UE kalau negara-negara UE harus ikut seperti negara-negara Asia,” ujarnya.
Baca Juga
Selain kemampuan menjaga fundamental ekonomi Indonesia agar tetap kuat menjadi hal yang terpenting, Airlangga juga meyakini bahwa kebijakan perekonomian pemerintah di tahun depan masih akan tetap sejalan dengan kebijakan yang ada saat ini.
Kemudian, neraca perdagangan Indonesia pada Mei 2024 tercatat memperoleh surplus US$2,93 miliar dan mampu melanjutkan tren surplus selama 49 bulan berturut-turut.
Meski tereduksi dengan defisit sektor migas, surplus neraca perdagangan tersebut didukung oleh surplus sektor nonmigas sebesar US$4,26 miliar.
Peningkatan ekspor nonmigas Indonesia pada Mei 2024 dibandingkan April 2024 diikuti dengan meningkatnya nilai ekspor ke sebagian besar negara tujuan utama seperti Tiongkok, Amerika Serikat, dan Jepang. Selain itu, ekspor Indonesia ke Asean dan UE juga mengalami kenaikan.
“Selain dari segi trade kita surplus, pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif tinggi di 5,11%, kemudian inflasi rendah di 2,8%, kemudian juga dari daya saing juga relatif tinggi. Peringkat daya saing Indonesia naik sebanyak 7 tingkat pada 2024 ini, tertinggi dalam 6 tahun terakhir," ujarnya.
Airlangga kemudian mengutip Riset IMD World Competitiveness Ranking 2024, yang melaporkan bahwa daya saing Indonesia menduduki posisi ke-27 dari 67 negara di dunia. Angka tersebut lebih baik dari tahun sebelumnya, di mana pada 2023 lalu Indonesia berada di posisi ke-34.
"Jadi secara fundamental Indeks Keyakinan Konsumen juga baik, PMI kita juga positif di atas 50,” ucap Airlangga.
Meskipun kondisi fundamental ekonomi masih stabil, tapi dia memastikan pemerintah masih terus menjaga faktor sentimental regional dan mendorong masuknya investasi.
“Devisa Hasil Ekspor juga kita dorong, dan juga kita minta kepada para pengusaha yang ekspornya masih punya devisa di luar negeri untuk dimasukkan ke dalam negeri,” pungkasnya.
Pelemahan Rupiah
Diberitakan sebelumnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah pada Jumat (21/6/2024) dan menyentuh level Rp16.450.
Mengutip data Bloomberg, rupiah ditutup melemah 20 poin atau 0,12% menuju level Rp16.450 per dolar AS. Adapun indeks dolar AS menguat 0,22% ke posisi 105,81.
Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyampaikan beberapa faktor penyebab melemahnya nilai tukar rupiah hingga tembus Rp16.400 per dolar AS.
Perry mengatakan nilai tukar rupiah terhadap dolar selalu dipengaruhi oleh faktor fundamental dan sentimen jangka pendek. Menurutnya, jika dilihat dari faktor fundamental seharusnya dapat mendukung penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
“Inflasi kita lebih rendah di 2,8%, pertumbuhan kita juga tinggi 5,1%. Kredit juga bertambah 12%, demikian juga kondisi kondisi ekonomi kita, termasuk juga imbal hasil investasi yang baik. Itu faktor fundamental yang seharusnya mendukung rupiah menguat,” ujar Perry usai bertemu Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan, Kamis (21/6/2024).
Perry mengatakan ketegangan geopolitik di kawasan Timur Tengah dan suku bunga The Fed yang tidak turun sebanyak tiga kali dalam setahun membuat BI mengambil langkah untuk menaikkan suku bunga.
Hasilnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengalami penguatan menjadi Rp15.900 dari Rp16.000 sebelumnya. Namun, penguatan nilai tukar rupiah tersebut tidak berlangsung lama dan mengalami perlemahan kembali.