Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Janji Jokowi Rupiah di Bawah Rp10.000 per Dolar AS Tinggal Mimpi

Rupiah yang menembus Rp16.400 per dolar AS jelang akhir masa jabatan Presiden Jokowi seakan mengubur janji kurs di bawah Rp10.000 yang digaungkan 10 tahun lalu.
Akbar Evandio,Aprianto Cahyo Nugroho
Jumat, 21 Juni 2024 | 10:30
Potret Presiden Pertama Indonesia Sukarno dan Wakil Presiden Pertama Indonesia Mohammad Hatta dalam uang rupiah pecahan Rp100.000. - Bloomberg/Brent Lewin
Potret Presiden Pertama Indonesia Sukarno dan Wakil Presiden Pertama Indonesia Mohammad Hatta dalam uang rupiah pecahan Rp100.000. - Bloomberg/Brent Lewin

Bisnis.com, JAKARTA – Menjelang akhir masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi), nilai tukar rupiah justru melemah melampaui level Rp16.000 per dolar AS.

Pada perdagangan hari ini, Jumat (21/6/2024), nilai tukar rupiah dibuka melemah 45 poin atau 0,27% menuju level Rp16.475 per dolar AS. 

Melemahnya nilai tukar rupiah ini mengingatkan pada janji Jokowi 10 tahun lalu dalam kontestasi Pilpres 2014. Saat itu, Jokowi mengumbar janji nilai tukar rupiah akan turun hingga Rp10.000 per dolar AS jika dirinya terpilih.

Pada saat Jokowi untuk masa jabatan pertama pada Oktober 2014, rupiah saat ini berada di kisaran Rp12.000 per dolar AS. Sejak saat itu hingga akhir masa jabatan pertama, rupiah terus melemah bahkan nyaris menyentuh Rp15.000.

Berlanjut di masa jabatan periode kedua yang dimulai pada 20 Oktober 2019, rupiah menyentuh level Rp13.990 pada saat itu. Setelahnya, rupiah justru terus melemah, bahkan tidak pernah kembali ke level Rp12.000.

Pelemahan rupiah semakin menjadi saat awal pandemi Covid-19. Rupiah menyentuh level terendahnya sejak krisis moneter 1998 di level Rp16.700 pada awal April 2024.

Berbagai upaya pemerintah dan bank sentral menekan laju pelemahan rupiah membuahkan hasil. Nilai tukar bisa kembali menyentuh domain Rp13.000 setahun setelahnya. Namun, tren penguatan tersebut tidak berlangsung lama.

Sejak kampanye kenaikan suku bunga the Fed AS untuk menekan inflasi Negeri Paman Sam pada Maret 2022, mata uang global dan regional tertekan penguatan dolar AS, tak terkecuali rupiah. Sejak saat itu, rupiah terus mengalami tren pelemahan hingga kini melampaui level Rp16.000.

Jokowi Panggil KSSK

Merespons pelemahan rupiah ini, Presiden Jokowi memanggil sejumlah perwakilan dari Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) ke Istana Negara pada Kamis (20/6/2024) untuk membahas perkembangan nilai tukar.

Setiap perwakilan tiba di kompleks Istana Kepresidenan memenuhi panggilan Jokowi, mulai dari Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, hingga Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Kepada Presiden Jokowi, Menkeu Sri Mulyani menjelaskan perkembangan nilai tukar rupiah dan langkah pemerintah ke depan.

Menurutnya, kondisi nilai tukar rupiah masih dalam taraf aman. Mengingat, nilai tukar dipengaruhi dua faktor utama, yaitu faktor fundamental dan faktor sentimen jangka pendek. Apalagi, dari faktor pertama Indonesia masih dalam keadaan baik.

Dia menjelaskan bahwa dari faktor fundamental. Keadaan Indonesia terpantau aman, terlihat dari indeks penjualan riil masyarakat yang mencerminkan konsumsi masyarakat tengah mengalami pemulihan terutama pada Mei—Juni ini.

“Kemudian Mandiri Spending Index (MSI), confidence masyarakat, PMI semuanya masih dalam relatif terjaga dan ini menjadi pondasi yang cukup baik untuk memproyeksikan pertumbuhan ekonomi kita di kuartal II/2024 ini yang masih terjaga seperti yang terjadi di kuartal I/2024,” ujarnya di Istana pada Kamis (20/6/2024).

Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengamini bahwa dari faktor domestik, tekanan pada rupiah turut disebabkan oleh persepsi terhadap kesinambungan fiskal ke depan.

Menurutnya, naik turunnya nilai tukar rupiah memang disebabkan oleh kondisi fundamental ekonomi Indonesia dan sentimen jangka pendek. Namun, kondisi sentimen menjadi momok utama yang membuat nilai tukar Rupiah melemah hingga ke level Rp 16.400 per dolar Amerika Serikat (AS).

"Ada juga masalah persepsi sustainabilitas fiskal ke depan, itu membuat sentimen kemudian menjadi tekanan nilai tukar Rupiah," ujarnya kepada wartawan, Kamis (20/6/2024).

Lebih lanjut, Perry menegaskan bahwa selama ini kondisi fundamental ekonomi Indonesia masih tergolong baik. Namun, adanya beberapa sentimen jangka pendek justru mempengaruhi nilai tukar.

Dia tak menampik dari sektor domestik ada beberapa sentimen yang membuat Rupiah sedikit tertekan, salah satunya adalah sentimen keberlanjutan fiskal APBN di pemerintah baru.

Perry melanjutkan apabila dilihat melalui sentimen global, suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve yang masih tak kunjung turun jadi biang kerok terbesarnya. Hal ini menjadi magnet modal keluar dari negara-negara berkembang ke Amerika.

Kenaikan suku bunga obligasi pemerintah AS, kata Perry juga menarik modal-modal keluar dari negara berkembang. Tak hanya itu, dia melanjutkan bahwa saat ini juga ada juga sentimen turunnya suku bunga Bank Sentral Eropa yang bisa memberikan dampak ke kondisi nilai tukar Indonesia.

"Fed Fund Rate sampai saat ini masih tebak-tebakan sampai akhir tahun sampai berapa kali [turunnya], menurut perkiraan kami sekali cuma akhir tahun saja," pungkas Perry.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper