Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Top 5 News: Jalur Ekspansi Garuda hingga Pemburukan NPL Pasca-relaksasi Restrukturisasi

Berita tentang langkah ekspansi Garuda Indonesia bersama sejumlah berita menarik lainnya menjadi pilihan editor BisnisIndonesia.id hari ini, Selasa (11/6/2024).
Top 5. Sumber: Canva
Top 5. Sumber: Canva

Bisnis, JAKARTA — Garuda Indonesia berencana menambah delapan unit pesawat sebagai langkah ekspansi perseroan pada tahun ini. Dari jumlah tersebut, enam di antaranya produksi Boeing.

Berita tentang langkah ekspansi Garuda Indonesia untuk memperbaiki kinerja bisnisnya yang terpuruk menjadi salah satu berita pilihan editor BisnisIndonesia.id hari ini, Selasa (11/6/2024). Selain berita tersebut, sejumlah berita menarik lainnya turut tersaji dari meja redaksi BisnisIndonesia.id

Berikut ini highlight Top 5 News Bisnisindonesia.id hari ini:

1. Jalur Ekspansi Garuda Indonesia Bidik Penambahan Armada

Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra meyakini keamanan dan keselamatan pesawat Boeing yang dipesan perusahaan nantinya akan terpenuhi dengan optimal. 

Hal tersebut mengingat pesawat yang dipesan perseroan bukan keluaran terbaru seperti jenis Boeing 737 Max. "Aman kok, pesawat yang kami pesan juga bukan pesawat baru yang dicari," kata Irfan saat dikonfirmasi, Senin (10/6/2024).

Selama ini, Garuda Indonesia mengoperasikan beberapa varian pesawat Boeing, di antaranya jenis 777-300ER, dan 737-800 NG.

Perseroan berkomitmen untuk memastikan seluruh armada pesawat, baik eksisting maupun yang akan datang, memenuhi standar keamanan dan keselamatan yang telah diatur pemerintah.

Data Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) pada Februari 2024 melaporkan, Garuda Indonesia memiliki 57 unit pesawat operasional. Jumlah pesawat tersebut terdiri atas 38 unit B737-800NG, 12 unit Airbus A330-200/300/900, serta 7 unit B777-300ER.

Top 5 News: Jalur Ekspansi Garuda hingga Pemburukan NPL Pasca-relaksasi Restrukturisasi

 

2. Rekomendasi Saham MDKA Usai Kinerja Tertekan di Awal Tahun

Emiten tambang PT Merdeka Copper Gold Tbk. mengawali tahun ini dengan kinerja keuangan yang lesu. Namun, prospek pemulihan kinerja cukup  terbuka di kuartal-kuartal mendatang. Rencana private placement perseroan pun berpotensi makin memperkuat kapasitas bisnisnya.

Emiten berkode saham MDKA ini baru menerbitkan laporan keuangannya untuk periode kuartal pertama tahun ini pada pekan lalu, Senin (3/6/2024). Dari sisi top line, perseroan melaporkan kinerja yang cukup mengesankan. Namun, perseroan menanggung pembengkakan beban yang menyebabkan kerugian.

Berdasarkan materi presentasi kinerja keuangan kuartal I/2024, MDKA melaporkan pendapatan dan EBITDA grup sebesar US$541 juta dan US$57 juta, mencerminkan pertumbuhan secara tahunan (year-on-year/ YoY) sebesar 152,6% dan 29,5%.

Peningkatan signifikan tersebut terutama ditopang oleh volume produksi nikel yang meningkat. Nikel menyumbang pendapatan dan EBITDA sebesar US$444 juta dan US$27 juta, mewakili pertumbuhan YoY sebesar 211% dan 102%.

 

3. Sederet Pekerjaan Rumah BP Tapera Sebelum Tarik Simpanan Wajib Pekerja

Implementasi wajib program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menuai penolakan pengusaha dan kalangan buruh. Adapun penolakan terjadi karena permasalahan kepercayaan dalam mengelola dana Tapera. 

Selain itu, penolakan terjadi karena banyak masyarakat pensiunan PNS yang mengeluhkan sulitnya pencairan tabungan yang sebelumnya bernama tabungan perumahan (Taperum) yang dikelola oleh Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan (Bapertarum). 

Untuk diketahui, Bapertarum-PNS resmi dibubarkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada 24 Maret 2018. Pembubaran tersebut kemudian diikuti dengan proses likuidasi aset untuk dan atas nama Bapertarum-PNS. 

Pembentukan Tim Likuidasi dilakukan pada tahun 2020 sesuai amanat Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tapera. 

Top 5 News: Jalur Ekspansi Garuda hingga Pemburukan NPL Pasca-relaksasi Restrukturisasi

 

4. Dag-dig-dug Harga Gas Murah (HGBT) untuk Industri

Kebijakan harga khusus gas yang dipatok US$6 per million British thermal units (MMBtu) bagi tujuh sektor industri tertentu masih menjadi kekhawatiran, baik bagi pelaku usaha migas maupun kalangan industri.

Di satu sisi kelanjutan harga gas bumi tertentu (HGBT) itu sangat dinanti-nantikan oleh kalangan industri penerima manfaat kebijakan tersebut, tetapi di sisi lain ihwal penerimaan negara yang hilang dengan adanya kebijakan tersebut masih menjadi isu.

Sejalan dengan itu, Ikatan Perusahaan Gas Bumi Indonesia (IPGI) meminta kebijakan HGBT yang wacananya akan dilanjutkan setelah berakhir pada 2024 untuk dievaluasi kembali. Evaluasi kebijakan HGBT itu dinilai sangat diperlukan karena berdampak luas pada seluruh rantai suplai gas bumi, baik dari sektor hulu, midstream, maupun hilir.

“Perlu dilakukan evaluasi efektivitas HGBT agar manfaat yang diterima pelaku usaha sektor hulu, midstream, dan hilir menjadi adil. Lagi pula HGBT ini kan awalnya untuk mendorong daya saing pada tujuh sektor industri [penerima],” kata Ketua umum IPGI Eddy Asmanto seperti dikutip Antara, Senin (10/6/2024).

 

5. Relaksasi Restrukturisasi Kredit Berakhir, NPL Bank Mulai Merangkak Naik

Kekhawatiran terhadap peningkatan rasio kredit bermasalah atau nonperforming loan (NPL) perbankan usai berakhirnya relaksasi restrukturisasi kredit pada awal tahun ini menjadi kenyataan. Di bulan pertama usai insentif tersebut berakhir, NPL bank merangkak naik.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menghentikan kebijakan restrukturisasi kredit Covid-19 pada akhir Maret 2024. Sebulan setelahnya, rasio NPL mengalami peningkatan. Hal ini terlihat dari data OJK per April 2024 yang menunjukkan rasio NPL gross perbankan mencapai 2,33%.

NPL gross industri perbankan tersebut meningkat dalam sebulan dibandingkan Maret 2024 di level 2,25%. NPL nett perbankan juga naik dari Maret 2024 sebesar 0,77% ke level 0,81% pada April 2024.

Meskipun demikian, rasio kredit berisiko (loan at risk/LaR) perbankan menurun dari 11,1% per Maret 2024, ke level 11,04% per Maret 2024.

Adapun, OJK mencatat sebulan setelah kebijakan relaksasi itu dihentikan, masih terdapat nilai restrukturisasi kredit sebesar Rp207,40 triliun. Angkanya turun dibandingkan dengan bulan sebelumnya yakni Rp228,03 triliun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper