Bisnis.com, JAKARTA -- Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) memproyeksi produksi pengolahan plastik akan berkurang mengingat kondisi pelemahan rupiah yang masih terjadi. Kondisi ini membuat produsen memilih untuk meminimalisir stok produk di gudang.
Adapun, nilai tukar rupiah tercatat melemah 67 poin atau 0,42% menjadi Rp16.062 per dolar AS pada pukul 12.03 WIB hari ini, Senin (27/5/2024).
Sekjen Inaplas, Fajar Budiono mengatakan bahan baku plastik sebagian besar masih bergantung pada produk impor sehingga ongkos produksi mengalami kenaikan seiring dengan menguatnya nilai tukar dolar AS.
"Kalau rupiah cenderung bergerak naik terus, mereka [pengusaha] cenderung memproduksi barang-barang yang sesuai dengan volume dan kebutuhan pasar dan tidak berani untuk melebihi, stok di gudang akan di-minimize," kata Fajar kepada Bisnis, dikutip Senin (27/5/2024).
Menurut Fajar, banyak produsen yang mengurangi produksi hingga wait and see dengan kebijakan untuk stabilisasi nilai tukar rupiah. Pasalnya, di tengah kondisi daya beli masyarakat yang melemah, pengusaha disebut kesulitan untuk melakukan penyesuaian harga jual.
Pihaknya mengapresiasi kebijakan Bank Indonesia untuk menahan suku bunga acuan atau BI Rate di level 6,25% guna menjaga iklim usaha sekaligus mengendalikan fluktuasi nilai tukar rupiah.
Baca Juga
"Memang harus di rem rupiah ini karena kalau gak di rem ini semua itu pada wait and see dulu, rupiah ada di level berapa, sehingga mereka bisa menentukan harga jual nya mereka itu sekarang itu nilai nya berapa," tuturnya.
Sebagai informasi, berdasarkan data Kementerian Perindustrian pada 2022, kapasitas produksi industri barang jadi plastik nasional mencapai 7,67 juta ton dengan konsumsi sebesar 8,22 juta ton.
Sementara itu, kebutuhan bahan baku industri nasional mencapai 7,76 juta ton per tahun 2021. Adapun, hanya 3,19 juta ton bahan baku yang mampu dipenuhi produksi petrokimia lokal.
Pemerintah dinilai perlu mendorong kinerja pertumbuhan industri plastik yang saat ini masih terkontraksi -5,24% year-on-year (YoY) pada triwulan I/2024 atau lebih rendah dari periode tahun lalu 1,66% YoY.