Bisnis.com, PURWAKARTA – Selama lebih dari 3 dekade, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Cirata di Jawa Barat telah memegang peran vital sebagai penyedia energi alternatif di Indonesia, khususnya Pulau Jawa, Madura, dan Bali.
PLTA Cirata menjadi bagian tak terpisahkan dari Waduk Cirata, konstruksi air dengan luas sekitar 200 hektare yang membelah Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bandung Barat, dan Kabupaten Cianjur. PLTA yang diresmikan Presiden Soeharto pada 1988 itu memiliki kapasitas total 1.008 megawatt (MW), menjadikannya yang terbesar di seantero negeri.
Manajer Operasi PLTA Cirata Prihanto Budi mengatakan bahwa PLTA yang dikelola PT PLN Nusantara Power itu dimotori oleh delapan unit generator. PLTA Cirata memiliki fungsi sentral sebagai penyangga beban puncak atau peaker.
“PLTA Cirata masuk dalam sistem tenaga listrik 500 kilovolt [kV] interkoneksi Jawa-Madura Bali. Selain sebagai penyangga beban puncak, PLTA Cirata berfungsi sebagai penjaga kualitas energi listrik di sistem, mulai dari tegangan hingga frekuensi,” katanya kepada Tim Bisnis Indonesia Jelajah Tirta Nusantara 2024 di Kantor PLN NP UP Cirata, Kabupaten Purwakarta, Senin (13/5/2024).
Prihanto memaparkan, hal itu dimungkinkan oleh sistem PLTA Cirata yang terbilang mumpuni. Salah satu fasilitas yang menurutnya menjadi keunggulan PLTA Cirata adalah automatic generator control (AGC).
Fasilitas tersebut memungkinkan pengoperasian turbin PLTA Cirata secara otomatis akan menyesuaikan beban generator dengan kebutuhan sistem. Seluruhnya dapat dilakukan hanya dengan satu kali perintah dan dalam waktu singkat.
Baca Juga
“Kita juga mempunyai kelebihan di sistem. Jadi, dari perintah start generator sampai kita berbeban 126 megawatt per unit, itu waktunya hanya 6 menit. Keunggulan kami lebih cepat untuk membangkitkan listrik ke jaringan,” jelasnya.
Terbukti Teruji
Keunggulan PLTA Cirata yang dapat beroperasi dalam waktu singkat pernah diuji saat sebagian wilayah Pulau Jawa mengalami mati total (blackout) pada 2019 lalu. Saat itu, listrik di sejumlah wilayah Jakarta, Banten, Jawa Barat hingga sebagian wilayah Jawa Tengah mati akibat gangguan sistem transfer energi listrik.
Sigit Haryanto, Asisten Manajer Produksi B PLTA Cirata, mengatakan bahwa pihaknya mampu memulihkan kondisi tersebut karena adanya fasilitas black start dan line charging. Pada pokoknya, fasilitas tersebut mampu membangkitkan kembali energi listrik tanpa sumber eksternal.
“Jika sistem Jawa, Madura, dan Bali ini collapse, black out, tidak ada supply listrik sama sekali, maka PLTA Cirata ini akan menjadi lilin pertama yang menghidupkan kelistrikannya,” katanya saat ditemui Tim Bisnis Indonesia Jelajah Tirta Nusantara 2024 di kawasan Power House PLTA Cirata, Senin (13/5/2024).
Lebih lanjut, suplai listrik dari Waduk Cirata juga akan meningkat usai diresmikannya pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) terapung terbesar di Asia Tenggara dengan kapasitas 145 MW Ac atau setara dengan 192 megawatt peak (MWp) pada November 2023 lalu.
Manajer Operasi PLTA Cirata Prihanto Budi memaparkan, PLTS Terapung Cirata tergabung dalam sistem tenaga listrik 150 kV yang berbeda dengan PLTA. Meskipun tak terkoneksi secara langsung, dia menyebut bahwa kedua pembangkit listrik akan mampu dikolaborasikan pada waktu yang akan datang.
“Untuk saat ini, PLTS merupakan pembangkit yang sifatnya intermittent. Dengan teknologi pembangkit dan sistem yang bagus, sistem operasionalnya masih bisa dikolaborasikan dengan sistem pembangkit PLTA ataupun pembangkit-pembangkit yang memiliki fasilitas governor-free,” tuturnya.
Terus Berinovasi
Selain menyuplai kebutuhan listrik di tiga pulau, PLTA Cirata terus berupaya memperluas manfaat kepada masyarakat dengan melakukan berbagai terobosan.
Menurut Prihanto, Waduk Cirata memiliki fungsi utama sebagai pengendali banjir dari Sungai Citarum dan pumpunan irigasi wilayah setempat. Namun, pihaknya memilih mengambil peran lebih dengan terlibat dalam berbagai kolaborasi, misalnya melalui teknik modifikasi cuaca (TMC).
“Ketika menjelang musim kemarau, itu diadakan TMC. Pelaksanaannya di akhir musim penghujan dan menjelang musim penghujan,” ujar Prihanto.
Hal ini dilakukan demi meringankan dampak dari cuaca ekstrem. Pihaknya turut menggandeng Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) hingga Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam melakukan TMC.
Selain melakukan modifikasi cuaca dengan operasi hujan buatan, TMC juga dilakukan dengan metode ground-based generator (GBG). Metode ini memanfaatkan flare atau suar agar awan dapat tersemai, sehingga curah hujan meningkat.
“Posisi flare diletakkan di tower-tower, yang mana untuk tiga waduk [Cirata, Saguling, dan Jatiluhur] ada enam tower untuk pemasangan GBG. Posisinya ada di sekitaran DAS [daerah aliran sungai] Citarum,” pungkas Prihanto.
Sebagai informasi, World Water Forum merupakan pertemuan internasional terbesar yang membahas dan merumuskan kebijakan tata kelola air dan sanitasi dunia. Forum ini telah digelar sebanyak sembilan kali, dan pada pertemuan ke-10 akan dilaksanakan di Bali, Indonesia pada 18 Mei hingga 25 Mei 2024.
Nantinya, forum tersebut akan membahas enam subtema, di antaranya water security & prosperity, water for humans & nature, disaster risk reduction & management. Kemudian, governance, cooperation & hydro-diplomacy, sustainable water finance, dan knowledge & innovation.