Bisnis.com, JAKARTA— Produsen gas industri merupakan salah satu sektor pendukung yang vital bagi perkembangan industri manufaktur. Perubahan iklim dan upaya dekarbonisasi sektor industri menjadi tantangan yang mesti dihadapi.
Artikel bertajuk Mengantisipasi Tantangan Produsen Gas Industri menjadi salah satu berita pilihan editor BisnisIndonesia.id. Selain berita tersebut, sejumlah berita menarik lainnya turut tersaji dari meja redaksi BisnisIndonesia.id.
Berikut ini sorotan utama Bisnisindonesia.id, Kamis (09/5/2024):
1. Mengantisipasi Tantangan Produsen Gas Industri
Produsen gas industri merupakan salah satu sektor pendukung yang vital bagi perkembangan industri manufaktur. Perubahan iklim dan upaya dekarbonisasi sektor industri menjadi tantangan yang mesti dihadapi.
Produsen gas industri eksis di Indonesia sejak jaman penjajahan Belanda. NV W.A. Hoek Machine en Zuurstof di Jakarta adalah pabrik oksigen pertama (1916), dan NV Javasche Koolzuur Fabriek di Surabaya menjadi pabrik karbondioksida pertama (1924). Keduanya adalah cikal PT Samator Indo Gas Tbk.
Saat ini, Indonesia memiliki 189 produsen gas industri, yang tergabung dalam Asosiasi Gas Industri Indonesia (AGII). Ada beragam gas utama yang tersedia, termasuk nitrogen, oksigen, karbon dioksida, argon, hidrogen, helium dan asetilena.
Meskipun jenisnya beragam, ada persamaannya. Gas dan campuran gas itu tersedia dalam kemasan tabung.
Gas industri itu digunakan dalam berbagai industri, mulai minyak dan gas, petrokimia, kimia, pembangkit listrik, pertambangan, pengolahan baja, logam, perlindungan lingkungan, kedokteran, farmasi, bioteknologi, pangan, air, pupuk, daya nuklir, elektronika, hingga dirgantara.
2. Bisnis Menggiurkan ‘Gudang Karbon’ CCS di Indonesia
Indonesia dinilai sebagai negara yang paling siap untuk mengimplemantasikan pemanfaatan dan penyimpanan karbon atau carbon capture storage/carbon capture utilization and storage (CCS/CCUS) dibandingkan dengan negara lainnya di kawasan Asia.
Selain memiliki potensi besar terkait dengan kapasitas penyimpanan karbon dioksida (CO2), dari sisi regulasi untuk implementasi CCS/CCUS, Indonesia juga terbilang lebih maju dibandingkan dengan negara lainnya.
Dengan potensi kapasitas penyimpanan CO2 di dalam negeri yang mencapai hampir 600 giga ton (GT), menjadi modal kuat bagi Indonesia untuk mendatangkan cuan di tengah tren penurunan emisi karbon.
Terlebih, penyelenggaraan kegiatan penangkapan dan penyimpanan karbon tersebut ke depannya juga berpeluang dilakukan di luar wilayah kerja minyak dan gas bumi (migas), padahal sebelumnya kegiatan CCS/CCUS hanya terbatas di wilayah kerja migas dan hanya dapat dilakukan oleh kontraktor migas.
Dari sisi regulasi, pemerintah saat ini sangat agresif dalam menerbitkan berbagai regulasi untuk mendukung percepatan implementasi CCS di dalam negeri. Saat ini sudah ada Peraturan Presiden No. 14/2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon.
Selain itu, ada juga Peraturan Menteri ESDM No. 2/2023. Kemudian, ada juga Pedoman Tata Kerja SKK Migas No. 70/2024 terkait Penyelenggaraan CCS/CCUS pada Wilayah Kerja Kontraktor Kontrak Kerja Sama.
3. Pertalian Hangat China dan Eropa Timur
Presiden China Xi Jinping akan membicarakan serangkaian proyek investasi miliaran dolar di Serbia, sebuah bentuk kedekatan yang jarang terjadi di antara raksasa ekonomi kedua dengan negara di Uni Eropa.
Presiden Xi Jinping mendatar di Belgrade disambut oleh Presiden Serbia Aleksandar Vucic dan jajarannya pada Selasa (7/5/2024). Xi melawat ke negara ini bertepatan dengan peringatan ke-25 pengeboman Kedutaan Besar China di Belgrade.
Kedekatan China dengan Serbia sebenarnya dimulai setelah insiden serangan udara yang dilakukan pasukan Amerika Serikat di Ibu Kota Serbia pada 7 Mei 1999. Saat itu, bom jatuh tepat di atas Kedutaan Besar China sehingga menewaskan tiga warga negaranya dan 20 orang terluka.
Aksi tersebut merupakan bagian dari upaya AS menghentikan aksi pemimpin Yugoslavia Slobodan Milosevic atas pembersihan etnis Albania yang memberontak di Kosovo.
Dalam laporan surat kabar Politika di Serbia pada Selasa, Xi mengungkapkan "Kita tidak boleh melupakan kejadian 25 tahun lalu. NATO dengan berani mengebom Kedutaan Besar China di Yugoslavia."
Dia mengatakan rakyat China menghargai perdamaian, tetapi tidak akan pernah membiarkan tragedi yang sama terulang.
4. Daftar Panjang Aksi Merger dan Akuisisi Bank 2024
Aksi akuisisi atas PT Bank Nationalnobu Tbk. oleh perusahaan asuransi asal Korea Selatan, Hanwha Life, menambah panjang daftar aksi korporasi di industri ini pada tahun ini. Aksi serupa tampaknya belum akan lekas berakhir hingga akhir tahun ini.
Bank Nationalnobu atau yang kerap disingkat dengan Bank Nobu selama ini dikendalikan oleh Grup Lippo milik keluarga Mochtar Riady melalui sejumlah entitas usaha. Namun, kini Hanwha Life bakal segera masuk sebagai pemegang saham terbesar.
Kabar tersebut terungkap dari pemberitaan media asal Hanwha, yakni The Korea Times. Diberitakan bahwa Lippo Group dan Hanwha Life telah menyetujui perjanjian pembelian saham (stock purchase agreement/SPA) NOBU pada 3 Mei 2024.
Transaksi tersebut menyepakati bahwa Hanwha Life akan mengakuisisi 40% saham Bank Nobu dari Lippo Group.
Langkah ini menjadi menarik, sebab selama ini sudah berkembang kabar bahwa Bank Nobu bakal merger dengan bank milik Grup MNC, yakni PT Bank MNC Internasional Tbk. atau Bank MNC. Kabar ini sudah berhembus sejak tahun lalu, tetapi tak kunjung terealisasi.
Terkait hal itu, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dian Ediana Rae, mengatakan OJK akan mendengar rencana yang jelas dari kedua belah pihak, baik Bank Nobu serta Bank MNC terkait nasib merger.
5. Sinyal Kuat Pemantik PLTS Atap
Aturan baru mengenai pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap yang menghapus ketentuan ekspor tenaga listrik ke PT PLN (Persero) dan mengatur kompensasi peningkatan biaya pokok penyediaan listrik, sejatinya menjadi pemantik bagi percepatan pemanfaatan energi terbarukan itu di Tanah Air.
Terlebih, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) bersama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) diketahui juga telah sepakat untuk mematok kuota PLTS atap sebesar 3,375 gigawatt (GW) pada periode 2024 sampai dengan 2025. Rencananya, besaran kuota itu bakal ditambah sampai dengan 2028 selepas kuota yang dialokasikan sebesar 3,375 GW itu habis diutilisasi pada 2025 mendatang.
Adapun, aturan anyar untuk mengakselerasi pengembangan PLTS atap tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 2 Tahun 2024 tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum.
Adanya Permen ESDM No. 2/2024 yang menghapus ketentuan mengenai batasan kapasitas, ekspor-impor energi listrik, dan biaya kapasitas (capacity charge), serta penambahan ketentuan kuota pengembangan PLTS atap, diharapkan bisa menjadi jalan tengah antara kepentingan PLN, industri, dan masyarakat yang berinisiatif untuk meningkatkan pemasangan panel surya.
Beberapa kali inisiatif pembenahan beleid itu jalan di tempat lantaran kekhawatiran ihwal beban anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan kelebihan pasokan listrik atau oversupply yang saat ini masih ditanggung PLN.