Bisnis.com, JAKARTA - Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) menilai perlu adanya evaluasi dalam tata kelola dan tata niaga timah, khususnya di Bangka Belitung (Babel).
Ketua Umum Perhapi Rizal Kasli mengatakan bahwa evaluasi tersebut dilakukan guna menciptakan praktik pertambangan timah yang sesuai regulasi.
“Evaluasi dan perbaikan diperlukan untuk menjamin pelaksanaan pertambangan yang bertanggungjawab sesuai aturan dan regulasi yang berlaku,” kata Rizal saat dihubungi Bisnis, Selasa (23/4/2024).
Rizal menyampaikan, perbaikan dalam tata kelola timah dapat dimulai dari penataan wilayah pertambangan, perizinan, penerapan kaidah pertambangan yang baik (GMP).
Perbaikan dalam kelengkapan struktur organisasi, adanya sumber daya manusia yang kompeten dalam menjalankan operasi penambangan, dan pengawasan dalam hal pembayaran keuangan kepada negara seperti royalti, pajak-pajak lainnya.
“Lalu, adanya pengelolaan lingkungan hidup termasuk rencana reklamasi dan rencana penutupan tambang [yang sesuai regulasi],” ujar Rizal.
Baca Juga
Lebih lanjut, Rizal menuturkan bahwa tata kelola timah memang harus dijalankan untuk menghindari kerugian negara yang lebih besar
“Termasuk biaya eksternalitas yang ditimbulkan apabila perusahaan tidak menjalankan prinsip-prinsip GMP,” ucapnya.
Industri pertambangan timah belakangan ini tengah mendapat sorotan seiring mencuatnya kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk (TINS).
Kasus ini bermula saat sejumlah tersangka dalam kasus ini melakukan pertemuan dengan eks petinggi PT Timah Tbk. (TINS) untuk melakukan penambangan pada 2018.
Petinggi PT Timah itu, yakni Riza Pahlevi dan Emil Emindra diduga mengakomodir pertambangan timah ilegal. Dari pertemuan tersebut telah membuahkan hasil kerja sama antara PT Timah dan sejumlah perusahaan dengan sewa-menyewa peralatan untuk proses peleburan.
Dengan demikian, untuk membuat biji timah ilegal seolah-olah legal, sejumlah swasta bekerja sama dengan PT Timah untuk penerbitan surat perintah kerja (SPK).
Sebelumnya, Komisi VI DPR mencecar Direktur Utama PT Timah Tbk. (TINS) Ahmad Dani Virsal terkait kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah yang menyebabkan kerugian ekologis senilai Rp271 triliun tersebut.
Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Demokrat Herman Khaeron menuturkan bahwa angka kerugian ekologis dalam kasus dugaan korupsi PT Timah merupakan angka yang fantastis.
Herman bercerita bahwa dirinya pernah berkunjung ke wilayah PT Timah dan bertanya kepada masyarakat terkait pengurusan bekas tambang di kawasan PT Timah. Dirinya menemukan bahwa PT Timah tidak becus dalam mengurus kawasan pertambangan miliknya.
“PT Timah nggak urus pertambangan kawasan timah tidak diurus dengan baik. Maka pantas kemudian banyak pemain ilegal masuk dan manfaatkan celah di luar konteks manajemen,” kata Herman saat rapat dengar pendapat dengan PT Timah, Selasa (2/4/2024).
Di sisi lain, Anggota Komisi VI Fraksi PKS Amin menyampaikan kerugian senilai Rp217 triliun tersebut baru masuk dalam kerugian karena kerusakan lingkungan, bukan kerugian karena timahnya.
Dirinya pun sepakat dengan Herman Khaeron yang menyebut bahwa PT Timah seakan tidak beres dalam mengurus kawasan pertambangan.
“Jadi kita butuh gambaran seperti disampaikan Pak Herman. Posisi BUMN ini di mana. Penambang liar di mana-mana, jangan sampai BUMN di bawah ketiak penambang liar,” ucapnya.