Bisnis.com, JAKARTA – Dosen Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai pergerakan nilai tukar rupiah yang telah menembus lebih dari dari Rp16.200 per dolar AS bukan terpicu oleh meletusnya konflik Iran dengan Israel.
Wija, sapaannya, melihat dalam lima tahun terakhir, banyak kejadian di dalam negeri maupun internasional yang lebih berdampak pada naik turunnya nilai tukar rupiah.
Wija memaparkan dalam lima tahun terakhir tersebut, rupiah paling lemah pada masa pandemi Covid-19 yang hampir menyentuh Rp16.500 per dolar AS.
Menurutnya, masalah utama yang berkontribusi terhadap rupiah adalah ketergantungan pemerintah terhadap surat utang negara (SUN) dan Obligasi Negara Ritel (ORI).
“Kita [pemerintah] kecanduan berutang, dan sumber utang itu ORI yang mewakili 90% total utang pemerintah. Indonesia menghadapi risiko kehilangan investor trust terhadap rupiah dan obligasi pemerintah, kalau nggak ada trust, obligasi mereka lempar, rupiah pasti jatuh,” tuturnya dalam diskusi Dampak Kebijakan Ekonomi Politik di Tengah Perang Iran Israel, Senin (22/4/2024).
Berdasarkan berita Bisnis hari ini, nnilai tukar rupiah diproyeksi berfluktuasi dan berisiko ditutup melemah pada rentang Rp16.210 – Rp16.300 per dolar AS.
Baca Juga
Wija juga menjelaskan dalam satu minggu terakhir, rupiah mengalmai depresiasi 0,66%. Sementara dalam satu bulan terakhir, rupiah telah melemah 3,22% dan menjadi pelemahan terdalam di antara negara tetangga Malaysia, Singapura, Vietnam, dan Filipina, hingga Australia
Bahkan dalam satu tahun terakhir, nilai tukar rupiah -9,27% dan menjadi depresiasi terdalam kedua setelah Jepang.
“Ada atau tidak ada krisis middle east, rupiah akan terus melemah, kita punya masalah fundamental,” jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto melihat masih akan ada potensi pelemahan rupiah ke depannya.
“Potensi untuk pelemahan lebih lanjut kelihatan sekali, terutama aspek dari penguatan dolar yang juga sangat signifikan,” jelasnya.