Bisnis.com, JAKARTA - Tata kelola pangan masih mengidap penyakit laten berulang yakni fluktuasi harga. Menjelang atau saat hari-hari besar keagamaan seperti Ramadan kali ini, harga menjulang tinggi. Ironisnya, sampai minggu ketiga Ramadan kenaikan harga tak hanya terjadi pada satu-dua, tetapi banyak komoditas. Bukan hanya beras, tapi juga telur dan daging ayam, minyak goreng, gula pasir, bawang putih, dan daging sapi.
Semua komoditas pangan itu berada di atas harga acuan penjualan di tingkat konsumen. Bagi warga miskin dan rentan, kenaikan aneka komoditas pangan bersamaan ini pasti memukul daya beli mereka.
Diakui atau tidak, tata kelola barang kebutuhan pokok—yang mengacu Perpres 125/2022 tentang Penyelenggaraan Cadangan Pangan Pemerintah ada 11 jenis—di negeri ini sejatinya masih diserahkan ke mekanisme pasar. Dari 11 jenis kebutuhan pokok (beras, jagung, kedelai, gula konsumsi, minyak goreng, daging unggas, telur unggas, daging ruminansia, cabai, bawang, dan ikan instrumen yang relatif solid hanya ada pada beras. Sementara komoditas pangan selain beras, instrumen stabilisasinya amat terbatas.
Mengacu pada UU No. 18/2012 tentang Pangan dan UU No. 7/2014 tentang Perdagangan dan aturan-aturan turunannya, dua instrumen penting stabilisasi pangan adalah harga dan cadangan. Sejak Badan Pangan Nasional (Bapanas) beroperasi pada 21 Februari 2022, dua instrumen itu mulai diatur, terutama 9 komoditas yang menjadi tugas pokok dan fungsi Bapanas. Dari 11 komoditas di Perpres 125/2022 hanya minus minyak goreng dan ikan. Masalahnya, regulasi yang dibuat Bapanas tidak mengikat publik.
Soal harga, ada dua jenis harga. Pertama, harga acuan. Harga acuan pun ada dua yakni harga acuan pembelian di produsen dan harga acuan penjualan di tingkat konsumen. Harga acuan di tingkat produsen dimaksudkan untuk melindungi produsen dari kerugian. Sedangkan harga acuan di konsumen untuk memastikan masyarakat tidak terganggu daya belinya.
Masalahnya, regulasi harga hanya bersifat acuan. Kalau publik, baik pengusaha maupun pedagang, tidak mengacu pada harga acuan pun nirsanksi. Misalnya, harga telur di konsumen saat ini Rp31.000/kg, jauh di atas harga acuan Rp27.000/kg, pedagang telur juga tak dikenai sanksi. Antara ada harga acuan dan tidak ada acuan tidak ada bedanya.
Baca Juga
Kedua, harga eceran tertinggi (HET). Berbeda dengan harga acuan, HET bersifat mengikat publik. Ini berlaku untuk beras dan gula, plus minyak goreng yang diregulasi oleh Kementerian Perdagangan. Masalahnya sama dengan harga acuan: efektivitas HET sebagai instrumen stabilisasi.
Contoh HET beras. Sejak berlaku September 2017, pasar tradisional tak pernah mematuhi HET. Itu terjadi sampai saat ini. Yang patuh hanya pasar modern, yang karena biaya produksi beras premium melampaui HET membuat aneka merek beras menghilang dari ritel modern. Contoh lain adalah gula. Saat ini harga gula mencapai Rp18.000/kg, di atas HET. Tapi juga tidak ada penindakan atau sanksi.
Pertanyaannya, kalau HET yang bersifat mengikat publik saja tidak dipatuhi, bukankah hal itu telah mendelegitimasi aturan yang ada? Mau ditaruh di mana muka pemerintah? Lebih dari itu, jika instrumen ini tidak efektif apakah harus dipertahankan?
Sejak diberlakukan, HET sudah berlangsung lebih 6 tahun. Waktu 6 tahun sudah cukup memadai untuk dilakukan evaluasi menyeluruh terutama efektivitas HET dalam stabilisasi harga. Dari evaluasi itu kemudian diambil keputusan: diteruskan atau distop.
Instrumen kedua, cadangan pangan, yang memadai juga hanya ada pada beras. Bapanas menggariskan kebijakan agar Bulog menjaga cadangan beras pemerintah (CBP) setiap saat berada di level 1,2 juta ton. Ini setara 14 hari konsumsi. Meskipun kurang besar, setidaknya ini cukup memadai untuk mengintervensi pasar kala mekanisme pasar mengalami kegagalan.
Nasib berbeda terjadi pada komoditas lain. Jika harga telur, bawang putih atau cabai naik, relatif tidak ada instrumen yang bisa digerakan untuk mengintervensi pasar. Ini terjadi karena tidak ada cadangan yang dimiliki pemerintah.
Di luar beras, cadangan dalam jumlah kecil ada pada gula, jagung, dan daging kerbau. Cadangan yang mungil hampir bisa dipastikan tidak akan mampu memengaruhi harga di pasar. Kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari belum adanya komitmen politik untuk membangun cadangan pangan yang kuat.
Dibandingkan negara lain, Indonesia relatif tertinggal tak saja pada rendahnya cadangan pangan, tapi juga instrumen stabilisasi harga. Tidak usah jauh-jauh, di Malaysia misalnya, instabilitas harga kebutuhan pokok hampir tak pernah terjadi.
Ini karena Malaysia memiliki The Price Control Act untuk mengontrol harga barang, sebagian besar makanan, sejak 1946. Juga The Control of Supplies Act tahun 1961 yang mengatur keluar-masuk barang di perbatasan. Di dalamnya harga 225 kebutuhan sehari-hari warga dan 25 komoditas dikontrol pada festive season.
UU pengaturan harga memang belum ada di Indonesia. Akan tetapi, pasal-pasal di UU Pangan dan UU Perdagangan bisa jadi cantolan membuat regulasi pengaturan harga. Regulasi cadangan pangan pemerintah sudah ada.
Untuk menstabilkan pasokan dan harga pangan secara sistemik dan terencana, instrumen cadangan harus dilengkapi dengan beleid harga (atas dan bawah), aturan ekspor-impor, penyimpanan, dan distribusi. Bulog dan BUMN pangan lain bisa jadi tangan kanan Bapanas dalam pengelolaan cadangan dan stabilisasi harga. Yang harus dipastikan adalah adanya penyaluran pasti dan anggaran.