Bisnis.com, JAKARTA – Calon presiden (Capres) Prabowo Subianto mulai mencari sosok yang akan memimpin Badan Penerimaan Negara (BPN), yang merupakan leburan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC).
Anggota Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Drajad Wibowo mengungkapkan belum ada pembahasan lebih lanjut terkait salah satu program unggulan pasangan nomor urut 02.
“Belum ada pembahasan [BPN]. Lagipula perlu persiapan peraturan perundang-undangannya juga,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (5/3/2024).
Dirinya juga menyampaikan belum dapat memberikan informasi lebih lanjut terkait satu dari 8 Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) milik Prabowo-Gibran tersebut. Dirinya juga enggan berkomentar lebih lanjut mengenai persiapan peraturan perundang-undangan untuk membentuk BPN.
Dalam pertemuan investor Mandiri Investment Forum (MIF) 2024, Prabowo secara terang-terangan meminta rekomendasi dari Menteri BUMN Erick Thohir, Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk. (BMRI) Darmawan Junaidi, Komisaris BMRI Chatib Basri, serta Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo.
“Pak Erick, Pak Darmawan, Pak Kartika, Pak Chatib, tolong rekomendasikan kepada saya siapa yang akan menjadi Direktur Jenderal Pajak,” ungkapnya, Selasa (5/3/2024).
Baca Juga
Adapun, pembentukan BPN masuk dalam program ke 8 PHTC. Pembentukan tersebut berangkat karena pembangunan ekonomi perlu dibiayai sebagian dari anggaran pemerintah. Untuk itu anggaran perlu ditingkatkan dari sisi penerimaan yang bersumber dari pajak dan bukan pajak (PNBP).
Pendirian Badan Penerimaan Negara ditargetkan meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 23%.
Prabowo berambisi untuk menaikkan rasio pajak Indonesia, yang saat ini berada pada kisaran 10%, untuk setidaknya setara dengan Thailand, Malaysia, dan Vietnam yang berkisar 16%-18%.
Ketua Umum Gerindra tersebut menyebutkan bukan hal yang tidak mungkin Indonesia dapat menyusul rasio pajak negara tetangga. Menurutnya, perlu perluasan basis pajak untuk menjaring penerimaan negara.
“Kenapa Indonesia tidak bisa? Itu pertanyaan saya kepada ahli ekonomi, bukan dalam arti kita harus menaikkan pajak, kita harus memperlebar pembayar pajak,” tuturnya.