Bisnis.com, JAKARTA - Menjelang akhir masa kepresidenan Jokowi periode kedua, tak bisa dipungkiri ada banyak program pembangunan di berbagai sektor yang belum selesai.
Terpopuler, misalnya, proyek Ibu Kota Nusantara (IKN), sejumlah proyek hilirisasi mineral, proyek food estate untuk ketahanan pangan dan berbagai Proyek Strategis Nasional (PSN) lainnya.
Program strategis pemerintahan Jokowi dalam rangka ketahanan pangan dan energi yang dicanangkan melalui Perpres 40 tahun 2023 adalah program Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol sebagai bahan Bakar Nabati (Biofuel).
Perpres tersebut telah menyediakan semua peralatan guna percepatan swasembada gula nasional. Aspek yang paling krusial dalam masalah pergulaan kita selama ini yakni masalah ketersediaan lahan telah digaransi pemenuhannya oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian ATR/Badan Pertanahan Nasional.
Hanya setelah lahannya memenuhi kriteria clear and clean baru ditawarkan kepada investor.
Perpres ini termasuk memuat pedoman bagi penyelenggaraan percepatan swasembada gula nasional dan penyediaan bioetanol sebagai bahan bakar nabati (biofuel), dalam rangka mewujudkan swasembada gula nasional guna menjamin ketahanan pangan nasional, menjamin ketersediaan bahan baku dan bahan peno-long industri, mendorong perbaikan kesejahteraan petani tebu, serta mewujudkan ketahanan energi dan pelaksanaan energi bersih melalui penggunaan bahan bakar nabati.
Baca Juga
Oleh karena itu, perpres dengan perspektif gula seba-gai komoditas strategis dan esensial serta dalam rangka mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai negara pengekspor gula ini sepatutnya diteruskan oleh pemerintahan mendatang.
Dampak langsung dari implementasi Perpres ini sudah barang tentu mendorong tumbuhnya ‘ekonomi gula’ baik regional/wilayah maupun nasional.
Target swasembada gula nasional pada 2030 yakni dengan skenario membangun sejumlah pabrik gula (PG) baru berkapasitas giling mencapai 60 juta ton tebu per tahun atau setara dengan 10 unit PG kapasitas satunya 40.000 ton cane per day (TCD) dan penambahan 700.000 hektare perkebunan tebu (produktivitas 80-90 ton/ha), akan dapat memproduksi gula kristal hingga 7,3 juta ton per tahun.
Dengan produksi gula kristal sejumlah ini dapat mensubstitusi kebutuhan gula kristal mentah (GKM) sebagai bahan baku yang diimpor tiap tahun bagi keperluan industri atau pabrik gula rafinasi.
Juga pastinya kontributif dalam mencapai surplus neraca perdagangan.
Manfaat lainnya yang diperoleh dari investasi ini adalah terbukanya lapangan kerja yang masif, tumbuhnya usaha-usaha ikutan, dan berdampak ke sektor UMKM lainnya. INVESTORMelihat skenario pencapaian swasembada gula nasio-nal tersebut, secara indikatif besaran nilai investasinya bisa mencapai Rp136 triliun.
Artinya, angka investasinya setara dengan nilai belanja/pengeluaran devisa 4 tahun berturut turut untuk mem-biayai impor gula kristal mentah.
Tersedia pola pola kerja sama pembiayaan seperti pri-vate publik partnership (PPP) atau kerja sama pemerintah dengan badan usaha dalam konteks proyek investasi bernilai besar dan strategis.
Ada pula skema Investasi murni oleh badan usaha swasta dalam dan luar negeri, atau mungkin juga kongsi swasta dan BUMN, dalam mengikuti skenario percepatan swasem-bada gula nasional.
Sebagai sumber pembi-ayaan alternatif, sovereign wealth fund (SWF) Indonesiayakni Indonesia Investment Authority (INA) dapat menjadi pilihan atau membentuk lembaga pembiayaan khusus gula, mencontoh best practice BPDP Sawit, dengan mulai mengumpulkan bea masuk impor GKM yang berjumlah hampir Rp2 triliun per tahun sebagai dana awal.
Pertanyaannya adalah adakah pihak investor yang bakal tertarik menanamkan modalnya dalam jumlah yang cukup besar?Jawaban atas pertanya-an ini tentu yang paling mudah ditemukan keberadaan investor adalah pada stakeholder pergulaan nasional yakni kalangan sugar community Indonesia yang tergabung dalam asosiasi-asosiasi seperti Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI), AGI (Asosiasi Gula Indonesia (AGI), Gapgindo (Gabungan Produsen Gula Indonesia), Asosiasi pedagang gula (PPGI) dan lain sebagainya.
Secara khusus AGRI ber-sama mitra Internationalnya sangat potensial menjadi investor mengingat anggota AGRI sebagai perusahaan pengguna dan pengimpor GKM. Tentu BUMN Gula (Sugarco) dan swasta nasio-nal sangat terbuka untuk kemungkinan berkolaborasi demi kejayaan Indonesia Incorporate di sektor pergulaan global.
Apalagi dukungan strategis pemerintah dengan melibatkan Kementerian PUPR dan Kementerian Keuangan, seyogyanya men-jadi daya tarik lebih bagi kalangan investor.
Kementerian PUPR mem-beri dukungan menyangkut penyediaan infrastruktur dasar sumber daya air (irigasi), infrastruktur jalan, dan jembatan di sekitar area PG dan perkebunan tebu.
Sementara, Kementerian Keuangan memberikan ber-bagai dukungan dan fasilitasi mulai dari teknis pengang-garan, keringanan pajak dan pembebasan bea masuk hing-ga komitmen penyertaan modal negara berupa barang milik negara kepada BUMN atau swasta nasional yang menerima penugasan.
Maka kali ini tentu kita tidak ingin agenda dan program swasembada gula nasional yang begitu atraktif akan bernasib timbul tengge-lam tergantung dari ‘selera’ pemerintahan yang berkuasa. Untuk itu, kepada pemerintahan baru yang akan terbentuk akhir Oktober tahun ini kiranya dapat memastikan bahwa segala kebijakan pergulaan nasional senantiasa terhubung dan suportif terhadap upaya percepatan swasembada gula nasional.