Bisnis.com, JAKARTA – Jelang Pemilu, banyak investor yang disebut masih menunggu. Misalnya, investor asing potensial untuk proyek Ibu Kota Nusantara (IKN).
Semuanya masih wait and see menanti hasil pemilu serta arah kebijakan pemerintah Indonesia selanjutnya.
Sembari menunggu, para investor potensial itu juga akan memperhitungkan faktor kondusifitas dalam pemerintahan. Termasuk, isu bakal hengkangnya key person yang disebut-sebut merupakan orang kepercayaan para pemodal asing, dari kabinet pemerintahan.
Menurut doktor ekonomi politik internasional Universitas Birmingham yang juga peneliti Indef, Asmiati Malik, vibe negatif dari isu miring seputar gonjang-ganjing di kabinet pemerintahan Presiden Joko Widodo belakangan mengirim sinyal buruk kepada investor.
“[Sebab], ada key person di kabinet yang menjadi simbol trust bagi para investor. Jika key person ini hengkang atau mengeluarkan statement negatif, pasar internasional bisa terpengaruh karena faktor trust itu,” kata Asmiati kepada Bisnis pekan lalu.
Faktor key person ini dinilai sangat berpengaruh signifikan terhadap arus investasi yang masuk di Tanah Air. Sebab, kata Asmiati, kepercayaan pemodal asing terhadap sistem atau regulasi yang berlaku di Tanah Air belum sepenuhnya terbangun.
Baca Juga
Produk hukum yang dihasilkan pemerintah, jelasnya, belum benar-benar efektif, sehingga investor disebut-sebut masih enggan memberikan kepercayaannya terhadap sistem yang berjalan.
“Alih-alih percaya terhadap sistem, sosok kepemimpinan masih memiiki peran signifikan dalam membentuk brand pemerintahan di mata investor,” jelasnya.
Terkait dengan hal itu, Asmiati mengatakan ada 2 hal yang perlu dicatat. Pertama, pemerintah mesti memahami signifikasi dari profitabilitas dan trust yang merupakan faktor penting bagi investor ketika menanamkan modal.
Kendati hasil berbagai survei menunjukkan angka kepuasan terhadap kinerja presiden sekitar 80%, kata Asmiati, tetapi hal ini belum tentu berkorelasi dengan kepercayaan pemodal asing untuk berinvestasi.
Kedua, pemerintah perlu concern terhadap besarnya jumlah pemilih di Indonesia yang tidak menempuh jenjang pendidikan perguruan tinggi. Asmiati mengatakan 60% - 70% pemilih di Tanah Air hanya lulusan SMP – SMA.
Tidak hanya karena kualitas pemilih cenderung berbanding lurus dengan kualitas pemimpin yang dipilih, aset demografi yang tidak optimal ini menjelma menjadi masalah sumber daya manusia (SDM).
Namun demikian, tren wait and see diperkirakan tidak berlangsung lama. “Sebab, secara alamiah market akan mencari keseimbangannya kembali,” katanya.
Apalagi, sambungnya, jika Pemilu Presiden yang tinggal menunggu hitungan hari hanya berlangsung satu putaran.
“Pelaku pasar cenderung prefer 1 putaran. Kalau Februari pemilu kelar, kemungkinan tidak ada perubahan signifikan terkait rencana bisnis dari investor. Kalau dua putaran, dan investor akan wait and see lebih lama. Sehingga bisnis yang harusnya selesai tahun ini akan mundur,” katanya.