Bisnis.com, JAKARTA - Deretan proyek Food Estate dari era ke era pemerintah dianggap terus menuai kegagalan. Masih perlukah ekstensifikasi lahan pertanian untuk menggenjot produksi pangan nasional?
Rektor IPB University, Arif Satria menilai ekstensifikasi lahan pertanian masih dibutuhkan. Hal itu seiring dengan proyeksi organisasi pangan dunia atau Food Agriculture Organization (FAO) soal kebutuhan lahan pertanian secara global pada 2030 yang mencapai 5,4 miliar hektare dari yang saat ini terdapat 5,1 miliar hektare.
Di sisi lain penurunanan luas lahan sawah di Indonesia selama 2012-2019 mencapai 1 juta hektare.
"Ekstensifikasi menjadi keniscayaan karena konversi lahan [pertanian] terus terjadi," ujar Arif saat media briefing Rabu (24/1/2024).
Kendati begitu, Arief menekankan bahwa ekstensifikasi pertanian seharusnya diprioritaskan untuk lahan-lahan terlantar seperti lahan rawa, lahan tidur, maupun lahan bekas tambang. Pembukaan dan perluasan lahan pertanian, harus memperhatikan aspek lingkungan agar ekosistem tidak terganggu.
Dia juga mengusulkan sistem agroforestri bisa menjadi opsi mendorong produksi pangan tanpa pembukaan lahan baru atau deforestasi.
Baca Juga
Adapun ihwal Food Estate, Arif enggan lantang menilai gagal atau berhasil. Sebab, menurutnya diperlukan data evaluasi yang komprehensif terhadap jalannya proyek pangan tersebut.
"Saya belum punya data evaluasi menyeluruh, jadi saya belum berani mengatakan Food Estate berhasil atau gagal," ucapnya.
Dia pun menegaskan, dalam proyek pengembangan lahan pertanian skala besar seperti halnya Food Estate diperlukan analisis kelayakan yang objektif. Selain dari kelayakan secara agroklimat dan teknologi, proyek Food Estate juga perlu mempertimbangkan kelayakan ekonomi sosial yang memadai.
"Kalau kita mau membangun Food Estate maka mau tidak mau basisnya adalah kelayakan secara objektif harus dilakukan. Jangan dipaksakan kalau gak layak. Tapi kalau layak yah silahkan," tuturnya.
Sebaliknya, Head of Research Center for Indonesian Policy Studies (Cips), Aditya Alta memandang upaya intensifikasi pertanian perlu diprioritaskan untuk mendongkrak produksi pangan nasional. Alih-alih ekstensifikasi lahan pertanian yang menelan biaya lebih besar.
Peningkatan produktivitas lahan, kata dia, bisa terus dilakukan melalui benih unggul hingga akses pupuk. Kesenjangan produktivitas pertanian antara di Jawa dan di luar Jawa masih cenderung besar. Oleh karena itu, optimalisasi lahan pertanian yang ada perlu terus digenjot.
"Asumsi saya masih pada intensifikasi. Karena menambah luas lahan itu costnya besar untuk lingkungan, ada emisi karbonnya juga," kata Aditya dalam kesempatan yang sama.
Sebelumnya, calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 01 Muhaimin Iskandar atau Cak Imin dan cawapres nomor urut 02 Mahfud MD kompak menyinggung soal kegagalan proyek Food Estate dalam mewujudkan kedaulatan pangan. Muhaimin dalam paparan visi misinya menyebut proyek Food Estate disebut menjadi bukti pemerintah mengabaikan petani.
Dia menilai upaya pengadaan pangan melalui proyek Food Estate selama 10 tahun terakhir telah mengabaikan petani, meninggalkan masyarakat adat serta menghasilkan konflik agraria.
Senada, cawapres nomor urut 03 Mahfud MD juga menyoroti program Food Estate yang dianggap gagal mewujudkan kedaulatan pangan dan justru merusak lingkungan.
"Jangan seperti Food Estate yang gagal yang merusak lingkungan. Rugi dong kita," ucap Mahfud.
Sebaliknya, cawapres nomor urut 02, Gibran Rakabuming Raka justru mengklaim masih ada program Food Estate yang berhasil. Pembelaan Gibran muncul seiring kritik kegagalan Food Estate dari dua cawapres lainnya.
"Nomor 1 dan 3 ini kan kompak bilang Food Estate gagal. Saya tegaskan sekali lagi ya pak, memang ada yang gagal, tapi ada yang berhasil juga yang sudah panen," ujar Gibran dalam debat cawapres, Minggu (21/1/2024).
Gibran menyebut bahwa Food Estate di Gunung Mas, Kalimantan Tengah menjadi salah satu lokasi berhasil. Bahkan Gibran mengklaim Food Estate Gunung Mas sudah berhasil menghasilkan panen singkong dan jagung.
"Di Gunung Mas Kalteng itu sudah panen jagung, singkong. Cek saja datanya," sebut Gibran.