Bisnis.com, JAKARTA – Calon presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto dalam debat kedua capres yang dilakukan Minggu (7/1/2024) menyatakan bahwa rasio utang pemerintah tidak masalah jika mencapai 50% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Sementara itu, calon presiden nomor urut 1 Anies Baswedan menyatakan bahwa rasio utang sebuah negara idealnya dijaga maksimal 30% dari PDB.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyampaikan bahwa regulasi atau undang-undang terkait keuangan negara memang memberikan batas rasio utang maksimum 60% dari PDB.
Namun demikian, Bhima mengatakan bukan berarti pemerintah bisa mendorong agar rasio utang mendekati batas yang dibolehkan undang undang.
Dia menjelaskan sejarah penetapan batas rasio utang 60% karena Indonesia mengadopsi disiplin fiskal ala Uni Eropa (Maastricht Treaty).
Di sisi lain, banyak pihak mulai meragukan dasar disiplin fiskal 60% tersebut dikarenakan beberapa negara di Eropa yang memiliki rasio utang dibawah 60% ikut masuk dalam krisis utang Eropa tahun 2015.
Baca Juga
"Karena kondisi ini, rule of thumb 60% di Eropa sendiri mulai banyak digugat oleh para ekonom dan pengambil kebijakan," katanya kepada Bisnis, Senin (8/1/2024).
Selain itu, Bhima mengatakan bahwa pemerintah juga perlu melihat jumlah pembayaran bunga utang setiap tahun untuk mengukur kesehatan pengelolaan utang.
“Kalau dengan rasio utang saat ini saja bunga utang nyaris Rp500 triliun tahun ini, maka porsinya terhadap belanja sosial kan sudah lebih dari 100%. Itu tidak sehat,” imbuhnya.
Menurutnya, Presiden Indonesia berikutnya harus hati hati terkait dengan penambahan utang, bukan malah bersemangat menambah utang baru.
Dia juga mengkritisi beberapa program capres Prabowo yang membutuhkan anggaran dengan jumlah yang besar, sehingga rentan menambah beban utang.
“Saya kira tim ekonomi-nya Prabowo perlu mengingatkan risiko utang dalam konteks keberlanjutan APBN. Khawatir program makan siang gratis, susu gratis, plus program lainnya akan terlalu mengandalkan pembiayaan utang,” tutur Bhima.