Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Belajar dari Krisis Chili, Merawat Kelas Menengah Lebih Urgen Ketimbang Menekan Kemiskinan

Meskipun Chili mampu menggenjot pertumbuhan ekonomi tumbuh tinggi dan kemiskinan berkurang, tetap ada guncangan ekonomi akibat ketidakpuasan kelas menengah.
Warga beraktivitas dengan latar suasana gedung perkantoran di Jakarta, Rabu (2/8/2023). Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II/2023 akan terjaga di level 5 persen, seiring dengan perkembangan yang positif. JIBI/Bisnis/Himawan L Nugraha
Warga beraktivitas dengan latar suasana gedung perkantoran di Jakarta, Rabu (2/8/2023). Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II/2023 akan terjaga di level 5 persen, seiring dengan perkembangan yang positif. JIBI/Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA - Setiap negara berkembang, termasuk Indonesia, pasti akan menemui suatu titik di mana aspirasi kelas menengah akan mendominasi jalannya roda perekonomian. Saat itu terjadi, jangan sampai Tanah Air mengalami krisis seperti Chili.  

Sebagai negara berstatus upper-middle income anyar, Indonesia pun tengah memasuki fase pertumbuhan pesat kalangan ekonomi kelas menengah. 

Tren ini sebelumnya juga sempat dirasakan Chili. Bahkan, Chili dianggap berhasil mengentaskan kemiskinan dan mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi dengan pesat, sampai-sampai dijuluki Jaguar Amerika Latin.

Ekonom dari UGM sekaligus Research Associate Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Evi Noor Afifah menjelaskan tren pertumbuhan kelas menengah di Indonesia terdorong oleh masifnya urbanisasi dan munculnya geliat ekonomi baru akibat tren digitalisasi.

Sejalan dengan hal tersebut, Evi berharap para pemimpin di Indonesia mulai waspada terhadap tren semakin tingginya ekspektasi soal imaji kehidupan yang lebih ideal dari kalangan masyarakat ekonomi kelas menengah. 

"Perlu diwaspadai kelas menengah itu semakin punya aspirasi untuk didengar. Ini kemudian mulai tercermin perilaku rakyat di media sosial. Ke depan, kita perlu berkaca dari beberapa negara, termasuk Chili yang sempat punya situasi mirip dengan di sini," ujarnya dalam Diskusi Publik Ekonom Perempuan Indef, dikutip Sabtu (30/12/2023).

Evi menjelaskan kendati Chili mampu menggenjot pertumbuhan ekonomi tumbuh tinggi dan kemiskinan berkurang, tetap saja terjadi gonjangan ekonomi yang didorong ketidakpuasan kaum kelas menengah. 

Indikator-indikator ekonomi berjalan baik saja tak cukup. Kelas menengah tetap merasakan adanya ketimpangan. Menganggap layanan publik yang ideal tetap tak terjangkau, atau bisa dijangkau dengan biaya yang tak murah.

Akhirnya, kerusuhan pun pecah pada Oktober 2019, salah satunya dipantik oleh kenaikan tarif kereta. Kelas menengah yang notabene kaum pekerja merasa pemerintah tidak mengedepankan kepentingan rakyat kebanyakan.

Ekonom senior yang sempat menjabat Menteri Keuangan 2013-2014 Chatib Basri pun sempat menyinggung fenomena yang disebut The Chilean Paradox itu dalam acara Outlook Perekonomian Indonesia 2024 baru-baru ini.

Chatib mengakui fenomena ini tidak akan terjadi di Indonesia dalam waktu dekat. Namun, fenomena ini menjadi gambaran betapa pentingnya negara mulai berfokus pada kualitas pelayanan publik yang bisa merawat gairah daya beli kelas menengah.

"Chile adalah negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Amerika Latin. Chile adalah negara yang berhasil menurunkan kemiskinannya dari 53 persen [1987] menjadi 6 persen [2017]. HDI pun terbaik di kawasan. Tapi Oktober 2019, tetap terjadi kerusuhan yang nyaris menimbulkan revolusi," ungkapnya. 

Menurutnya, itu terjadi karena kelas menengah bisa disebut sebagai 'pengeluh profesional' bagi suatu pemerintah. Suatu kelas konsumen dengan pendapatan lebih baik, secara umum akan menuntut peningkatan standar kualitas pelayanan yang lebih baik pula.

Sayangnya, kebijakan pemerintah Chile kala itu belum berubah. Masih terbilang loyal dengan kaum miskin, namun kurang siap dengan tuntutan dari kalangan menengah yang telah menjadi mayoritas.

"Jadi semakin besar nanti middle class kita dalam 10-15 tahun ke depan, perlu dipikirkan instrumennya seperti apa. Tidak bisa lagi dengan BLT [bansos tunai]. Mereka justru lebih perlu kualitas pendidikan yang lebih baik, provision of the public goods yang lebih baik, atau sarana transportasi yang lebih baik. Ini yang kemudian menjadi isu ekonomi politik ke depan," tambahnya.

Oleh sebab itu, Chatib mengaku tidak terkejut apabila tren kriteria calon pemimpin ke depan akan condong kepada para pribadi yang punya rekam jejak menyelesaikan masalah-masalah sosial, seperti sampah, parkir, pendidikan, dan bagaimana menanggulangi dampak-dampak urbanisasi secara umum.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper