Bisnis.com, JAKARTA - Pelaku usaha hingga petani yang memiliki bisnis perkebunan kelapa sawit hingga tambang batu bara dapat bersorak-sorai lantaran Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan diskon pajak bumi dan bangunan (PBB) hingga 100%.
Setelah memberikan keringanan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sektor properti, kini giliran diskon PBB disajikan kepada pelaku usaha. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 129/2023 tentang Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan yang diundangkan 30 November 2023, pemerintah menetapkan lima lini bisnis yang berhak mengajukan diskon.
Kelima sektor tersebut, yaitu perkebunan, perhutanan yang menyangkut hutan alam dan hutan tanaman, pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan untuk pengusahaan panas bumi, serta pertambangan mineral atau batu bara.
Di luar itu, sektor lain yang bisa mendapatkan diskon adalah lini usaha selain perikanan tangkap dan pembudidayaan ikan yang terdapat hasil produksi.
Diskon PBB yang ditawarkan pemerintah pun cukup menggiurkan, yakni mencapai maksimal 75% dan 100%. Namun, insentif pajak tersebut tergantung pada profil dari wajib pajak.
Kriteria Penerima Diskon PBB
Lantas, siapa saja pelaku usaha yang dapat menerima diskon PBB?
Baca Juga
Kriteria pebisnis itu lebih detail dibandingkan dengan beleid sebelumnya yakni PMK No. 82/PMK.03/2017 yang hanya mencakup perkebunan, perhutanan, pertambangan, dan sektor lain.
Adapun, syarat bagi perusahaan yang bisa mengakses fasilitas tersebut adalah mencatatkan kerugian komersial dan kesulitan likuiditas selama dua tahun berturut-turut.
Ada pula faktor bencana alam dan peristiwa luar biasa nonalam yang juga dijadikan pertimbangan bagi pemerintah untuk memberikan diskon PBB tersebut.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Dwi Astuti menyampaikan bahwa PMK No. 129/2023 berlaku 30 hari sejak tanggal diundangkan atau tepatnya pada 1 Januari 2024.
Dia mengatakan aturan tersebut bertujuan menyempurnakan tata kelola administrasi serta lebih memberikan kepastian hukum, kemudahan, dan pelayanan dalam pemberian pengurangan PBB.
“Penyempurnaan yang dilakukan meliputi penyesuaian objek pajak yang dapat diberikan pengurangan PBB, penambahan saluran elektronik dalam pengajuan dan penyelesaian permohonan, dan pengaturan terkait pemberian pengurangan PBB secara jabatan,” katanya melalui keterangan resmi, dikutip Senin (18/12/2023).
Detail Pengurangan atau Diskon PBB dari Sri Mulyani
PMK No. 82/2017 |
PMK No. 129/2023 |
|
Objek Pengurangan |
1. Pengurangan PBB dapat diberikan kepada WP: a. karena kondisi tertentu Objek Pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak; atau b. dalam hal Objek Pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa. 2. Kondisi tertentu dalam huruf a disebabkan oleh kerugian komersial dan kesulitan likuiditas pada akhir tahun buku bagi WP Pembukuan atau tahun kalender bagi WP pencatatan sebelum tahun pengajuan permohonan. 3. Kerugian komersial dimaksud adalah kerugian komersial dalam laporan keuangan atau pencatatan yang dilampirkan pada SPT Tahunan. 4. Kesulitan likuiditas dimaksud adalah kondisi ketidakmampuan WP membayar utang jangka pendek dengan kas yang diperoleh dari kegiatan usaha. 5. Pengurangan PBB untuk kondisi tertentu atas PBB yang tercantum dalam SPPT, SKP PBB, dan/atau STP PBB yang diterbitkan atas dasar surat keputusan keberatan dapat diberikan paling tinggi 75%. 6. Pengurangan PBB untuk bencana alam atau sebab lain yang luar biasa atas PBB yang tercantum dalam SPPT, SKP PBB, dan/atau STP PBB dapat diberikan paling tinggi 100%. 7. Jangka waktu pengajuan untuk kondisi tertentu: 3 (tiga) bulan sejak diterima SPPT, 1 (satu) bulan sejak diterima SKP PBB, 1 (satu) bulan sejak STP diterima, atau 1 (satu) bulan sejak SK Pembetulan atas SPPT/SKP PBB diterima. 8. Jangka waktu pengajuan untuk bencana alam atau sebab lain yang luar biasa: paling lama 6 (enam) bulan sejak terjadinya bencana alam atau sebab lain yang luar biasa. 9. Syarat pengajuan: a. 1 permohonan untuk 1 SPPT/SKP/STP PBB: b. diajukan tertulis dalam bahasa Indonesia; c. ditandatangani WP; dan d. tidak memiliki tunggakan PBB atas objek pengurangan kecuali yang disebabkan oleh bencana alam dan sebab lain yang luar biasa. |
1. Pengurangan PBB dapat diberikan kepada WP: a. karena kondisi tertentu Objek Pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak; atau b. dalam hal Objek Pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa. 2. Kondisi tertentu dalam huruf a disebabkan oleh kerugian komersial dan kesulitan likuiditas selama 2 (dua) tahun berturut-turut. 3. Kerugian komersial dimaksud adalah kondisi ketidakmampuan wajib pajak untuk menghasilkan laba operasi bersih karena jumlah beban operasi melebihi jumlah laba kotor. 4. Kesulitan likuiditas dimaksud adalah kondisi ketidakmampuan wajib pajak dalam membayar kewajiban jangka pendek dengan aktiva lancar. 5. Pengurangan PBB untuk kondisi tertentu atas PBB yang masih harus dibayar dalam SPPT atau SKP PBB dapat diberikan paling tinggi 75%. 6. Pengurangan PBB untuk bencana alam atau sebab lain yang luar biasa atas PBB yang tercantum dalam SPPT, SKP PBB, atau STP PBB dapat diberikan paling tinggi 100%. 7. Jangka waktu pengajuan untuk kondisi tertentu: 3 (tiga) bulan sejak diterima SPPT, 1 (satu) bulan sejak diterima SKP PBB, atau 1 (satu) bulan sejak SK Pembetulan atas SPPT/SKP PBB diterima. 8. Jangka waktu pengajuan untuk bencana alam atau sebab lain yang luar biasa: diajukan pada tahun terjadinya bencana alam atau sebab lain yang luar biasa. 9. Syarat pengajuan: a. 1 permohonan untuk 1 SPPT/SKP/STP PBB; b. diajukan tertulis dalam bahasa Indonesia; c. ditandatangani wajib pajak; dan d. dilampiri dokumen pendukung. |
Saluran Penyampaian Permohonan |
a. Langsung; b. Melalui pos; atau c. Jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat. |
a. Langsung; b. Melalui pos, jasa ekspedisi, atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau c. Secara elektronik. |
Pencabutan atas Permohonan |
Tidak diatur |
WP dapat mengajukan permohonan pencabutan atas permohonan pengurangan PBB sepanjang SK Pemberian Pengurangan PBB belum diterbitkan. |
Pemberian Pengurangan PBB Secara Jabatan |
Tidak diatur |
a. Pengurangan PBB secara jabatan hanya diberikan kepada WP dalam hal objek PBB terkena bencana alam paling tinggi 100%, sepanjang terdapat penetapan status bencana alam oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah. b. Direktur Jenderal Pajak melimpahkan kewenangan pemberian pengurangan PBB kepada Kepala Kanwil DJP melalui delegasi untuk meneliti dan memberikan keputusan pengurangan PBB secara jabatan. |
Sumber: No. 129/2023
Kontribusi ke Ekonomi RI
Jika dicermati, pemberian diskon untuk sektor-sektor strategis itu memang cukup krusial lantaran daya dorongnya yang besar terhadap produk domestik bruto (PDB).
Sektor kehutanan misalnya, distribusi terhadap PDB mencapai 13%, sedangkan pertambangan di angka 10%. Dengan demikian, diskon pajak itu digadang-gadang dapat menjaga laju ekonomi tetap tinggi.
Namun jika dikaitkan dengan fiskal, beberapa sektor itu tidak secara maksimal berkontribusi pada penerimaan pajak, yang salah satunya disebabkan skema Pajak Penghasilan (PPh) Final.
Tercatat hanya pertambangan yang memberikan sumbangsih lumayan besar terhadap penerimaan pajak yakni 10% per Oktober 2023. Sayangnya, sektor ini amat bergantung pada harga komoditas di pasar global. Selain itu, diskon PBB hingga 100% juga bakal memengaruhi posisi belanja perpajakan pemerintah.
"Nilainya belum dihitung sampai adanya pengurangan [pajak] yang diajukan," kata Dwi.
PMK No. 129/2023, kata Dwi, memberikan kemudahan bagi WP karena WP yang memiliki tunggakan PBB diberikan kesempatan untuk mengajukan pengurangan PBB.
Meski bertujuan mengakomodasi kesulitan WP, Dwi menyampaikan PMK ini disusun secara lebih tepat sasaran serta tetap mendorong partisipasi WP dalam mendukung penerimaan pajak.
Adapun, PBB yang dimaksud dalam peraturan ini adalah PBB P5L, yaitu PBB selain PBB perdesaan dan perkotaan (PBB-P2). Pengelolaan atas PBB-P2 dilakukan oleh pemerintah daerah.
“Dengan telah diterbitkannya PMK ini, peraturan sebelumnya yakni PMK-82 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku,” kata Dwi.
Respons Pengusaha
Terlepas adanya untung rugi dalam kebijakan tersebut, hal yang pasti pemberian stimulus fiskal itu tetap memberikan angin segar bagi pelaku usaha.
Terlebih, saat ini pemerintah memiliki misi utama untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi jelang tahun transisi kepemimpinan yang berbarengan dengan meningkatnya ketidakpastian global.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani, pun mengapresiasi pemerintah atas terbitnya regulasi baru tersebut.
Menurutnya, beleid itu menunjukkan bahwa pemangku kebijakan telah memiliki mitigasi risiko tatkala terjadi guncangan di luar dugaan sehingga mengancam arah panah ekonomi nasional.
Hal itu tecermin dari adanya ketentuan pemberian pengurangan PBB yang mengacu pada bencana alam serta sebab lain yang luar biasa.
"Insentif tersebut memang diperlukan karena kondisi wajib pajak yang memang tidak memungkinkan untuk memenuhi kewajibannya,” ujarnya.
Sementara itu, kalangan ekonom dan pemerhati pajak memandang insentif ini tidak akan memberikan efek signifikan terhadap porsi belanja perpajakan. Justru, hal ini berpeluang memacu ekonomi karena kontribusi sektor penerima yang besar terhadap PDB.
Menurut Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono, efek ke ruang fiskal pun relatif terbatas.
Pasalnya, mengacu pada data Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, dari estimasi belanja perpajakan pada 2024 senilai Rp374,5 triliun, alokasi untuk PBB hanya Rp0,03 triliun.
Adapun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024, target penerimaan PBB hanya Rp27,18 triliun, sedangkan angka sasaran pajak secara total mencapai Rp1.988,87 triliun.
Dia menambahkan ada beberapa sektor yang memiliki elastisitas positif antara pertumbuhan ekonomi dan penerimaan pajak, salah satunya pertambangan.
"Dengan demikian, pemerintah memang perlu menjaga iklim bisnis di sektor tersebut," katanya.
Direktur Program Institute of Development on Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menambahkan pemerintah memang perlu memberikan dukungan fiskal kepada dunia usaha untuk memacu ekonomi.
“Di sisi lain, otoritas fiskal juga wajib terus menggali potensi penerimaan dari sektor penerima insentif tersebut,” jelasnya.