Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif masih mengkaji denda administratif keterlambatan pembangunan smelter dari PT Freeport Indonesia (PTFI).
Diketahui, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menghitung risiko denda administratif keterlambatan pembangunan smelter dari PTFI mencapai US$501,94 juta atau setara dengan Rp7,7 triliun (asumsi kurs Rp15.525 per dolar AS).
“Ya nanti kan pasti antara klaim dengan [smeter] yang dikerjakan itu kan pasti ada ketidakcocokan,” kata Arifin saat ditemui di Kementerian ESDM, Jumat (8/12/2023).
Terkait dengan progres smelter sendiri, Arifin menyebut bahwa progres secara mekanikal smelter milik PTFI sesuai dengan apa yang ditargetkan.
“Smelter ini kan yang the bottleneck increase capacity yang 30%-nya bulan ini udah harus jalan,” ujarnya.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menghitung besaran denda administratif keterlambatan pembangunan smelter dari PT Freeport Indonesia (PTFI) mencapai US$501,94 juta.
Baca Juga
Hitung-hitungan itu berasal dari data realisasi penjualan ekspor Freeport selama periode keterlambatan sebelum masa perpanjangan izin ekspor berlaku tengah tahun ini.
“Hal ini mengakibatkan negara berpotensi tidak segera memperoleh penerimaan denda administatif dari PTFI sebesar US$501,94 juta,” tulis BPK lewat ringkasan laporan pemeriksaan semester I/2023, dikutip Selasa (5/12/2023).
Denda itu berdasar pada perhitungan realisasi kemajuan fisik fasilitas pemurnian Freeport yang tidak sesuai dengan ketentuan. BPK menemukan laporan hasil verifikasi kemajuan fisik 6 bulanan sebelum adanya perubahan rencana pembangunan tidak menggunakan kurva S awal sebagai dasar verifikasi kemajuan fisik.
Hasil perhitungan persentase kemajuan fisik dibandingkan dengan rencana kumulatif menggunakan kurva S awal menunjukkan kemajuan yang dicapai Freeport tidak mencapai 90%.
“Sehingga memenuhi kriteria untuk dikenakan denda administratif keterlambatan pembangunan fasilitas pemurian dan mineral logam,” kata dia.