Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa tantangan ekonomi global, termasuk yang dihadapi Indonesia ke depan semakin bergeser.
Hal ini tercermin dari dunia yang sebelumnya diperkirakan akan mengglobal dan saling terhubung justru saat ini sangat terfragmentasi. Dia menyampaikan munculnya ketegangan geopolitik baru dan blok-blok regional dalam 5 tahun terakhir ini menjadi salah satu yang perlu diwaspadai.
“Kita telah menyaksikan ekonomi global yang berkembang menjadi gambaran yang sangat kompleks. Jika Anda melihat semua berita utama, ketegangan geopolitik lebih ke inward looking move,” katanya dalam acara 12th Annual International Forum on Economic Development and Public Policy (AIFED), Rabu (6/12/2023).
Sri Mulyani mengataka fenomena ini juga terkonfirmasi dari diskusinya bersama dengan Wakil Perdana Menteri Belanda Sigrid Kaag di Dubai pada akhir pekan lalu.
Menurutnya, Sigrid menyampaikan bahwa banyak partai-partai di Eropa menjadi semakin inward looking atau lebih mengutamakan kepentingan negaranya.
“Mereka melihat pihak asing sebagai musuh dan bukan sebagai teman. Itu menjadi sesuatu yang sangat memprihatinkan dan itu pasti akan mempengaruhi kebijakan banyak negara di dunia,” jelasnya.
Baca Juga
Lebih lanjut, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menyampaikan bahwa perang dagang dalam bentuk hambatan perdagangan dan investasi yang dibangun oleh banyak negara juga menciptakan gangguan lebih lanjut dalam rantai pasokan dan mengikis prinsip perdagangan bebas
Padahal, perdagangan bebas seharusnya saling menguntungkan, tapi perdagangan saat ini dipandang sebagai hal menang atau kalah. Dunia menurut Sri Mulyani tidak lagi mengglobal, tidak lagi mengakomodasi aspirasi satu planet, satu dunia, dan satu kemanusiaan.
“Kita menjadi terpecah belah, baik terpecah belah secara geografis, secara kedaulatan, secara etnis, secara ras, secara agama, atau sekarang juga terpecah belah secara artificial intelegent,” tuturnya.
Menkeu menambahkan banyak negara yang semakin inward looking, terutama sejak krisis keuangan global 2018. Seperti diketahui, krisis ini memberikan implikasi yang besar bagi negara berkembang sehingga banyak negara menggunakan instrumen fiskal dan moneter untuk mengatasi dampak tersebut.
Tantangan ini juga bertambah saat dunia terpapar pandemi Covid-19. Pada saat yang sama, dunia semakin terfragmentasi dengan perang teknologi dan fragmentasi geopolitik.
“Tiba-tiba kita dikategorikan apakah Anda adalah teman saya atau bukan lagi teman? Jadi itulah sebabnya mengapa on-shoring menjadi friend-shoring dan hal ini menciptakan dinamika perdagangan dan investasi yang sangat berbeda. Lingkungan global ini jelas mempengaruhi pilihan kebijakan dan peluang bagi suatu negara,” jelas Sri Mulyani.
Fragmentasi global yang menciptakan peningkatan nasionalisme dan populisme, imbuhnya, pasti akan memberikan tekanan besar pada sisi fiskal banyak negara, misalnya dalam bentuk defisit dan utang yang tinggi.