Bisnis.com, JAKARTA - The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) dalam laporan terbaru yang rilis pada 29 November 2023 memberikan sederet saran untuk perekonomian Indonesia.
Sebelumnya, OECD melaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini meningkat menjadi 4,9% dari laporan sebelumnya pada September 2023 yang sebesar 4,7%.
Adapun dalam laporan tersebut, OECD juga menegmukakan beberapa saran terkait kebijakan perekonomian Indonesia.
Pertama, mengenai soal kebijakan, menyusul pelebaran defisit anggaran selama pandemi, OECD menilai bahwa pemerintah telah mengintensifkan konsolidasi fiskal sejak 2022. Adapun, APBN 2024 menargetkan defisit sebesar 2,29% PDB dan sikap fiskal netral akan dipertahankan pada masa depan.
"Reformasi kebijakan dan administrasi perpajakan, serta penyelesaian beberapa proyek dinilai akan membantu mencapai target ini," tulis OECD dalam laporannya.
Kemudian, walaupun kemiskinan ekstrem juga telah berhasil diberantas, OECD berpendapat bahwa pada pandemi ini menunjukan bahwa kelas menengah yang baru muncul dinilai masih rentan terhadap guncangan dan membutuhkan ‘jaring pengaman’.
Baca Juga
Penutupan sekolah berkepanjangan, dinilai dapat memperburuk kesenjangan akses terhadap pendidikan dan pelatihan. Terkait hal ini, maka perluasan program perlindungan sosial, baik dari segi manfaat maupun cakupannya, perlu dijalankan bersama dengan perbaikan dalam hal otomatisasi dan penargetan.
Selanjutnya, dinilai bahwa jika risiko eksternal terjadi, perlambatan ekonomi yang cukup besar atau berkepanjangan dinilai perlu diatasi melalui belanja tambahan. Hal ini mengingat lemahnya stabilisator otomatis.
Peningkatan belanja modal secara bertahap diperkirakan berlanjut dalam jangka menengah, hal ini termasuk untuk mempercepat investasi di IKN (Ibu Kota Nusantara). Adapun, jumlahnya diproyeksikan mencapai US$30 miliar pada dekade berikutnya, atau sebesar Rp463 triliun.
Berikutnya, tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata sebesar 5% dinilai mungkin tidak cukup untuk mengubah Indonesia dapat menjadi negara berpendapatan tinggi pada 2045.
"Rencana reformasi struktural baru yang komprehensif harus menghilangkan distorsi dalam bidang kebijakan seperti peraturan bisnis, keuangan, kepemilikan negara, persaingan usaha, mengurangi kesenjangan yang berkepanjangan dalam transparansi dan kejelasan peraturan dibandingkan dengan negara-negara OECD," tulis OECD dalam laporannya.
Di lain sisi, pihak berwenang juga dinilai menunjukan yang kuat terhadap disiplin fiskal dan disarankan perlu mengadopsi strategi fiskal jangka menengah yang konkret untuk memperoleh dividen demografi sebelum penuaan mulai menjadi masalah dalam waktu kurang dari satu dekade.
Berikutnya dalam mobilisasi pendapatan juga dinilai akan mendapat manfaat dari pedalaman reformasi perpajakan 2021, terutama dengan meningkatkan kepatuhan wajib pajak berpenghasilan tinggi.
Kemudian, reformasi subsidi energi dinilai perlu mencakup kembalinya formula penetapan harga semi-otomatis, yang diterapkan pada 2015-2018, berdasarkan indeks harga minyak internasional, nilai tukar, serta pajak dan biaya distribusi lainnya.
Upaya lebih lanjut juga diperlukan dalam penerapan peraturan, termasuk melalui independensi yang lebih besar pada lembaga pengawas seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Terkait proyeksi Bank Indonesia, berdasarkan asumsi pasar komoditas saat ini dan jika ketegangan global tidak meningkat, OECD memproyeksi BI mungkin akan melakukan penurunan suku bunga pertama pada pertengahan tahun 2024.
Menimbang revisi target inflasi pada 2024 sedikit lebih ambisius, diperkirakan peralihan ke kebijakan moneter yang lebih akomodatif kemungkinan dilakukan secara hati-hati dan bertahap.