Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kemendag, Djatmiko Bris Witjaksono menilai bahwa penyelesaian proses sengketa di WTO tidak mudah.
Djatmiko berpendapat upaya tersebut masih dibutuhkan kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha dan tim kuasa hukum untuk penyelesaian sengketa tersebut.
Dia berjanji bakal mengawal proses penyelesaian sengketa lebih baik kendati Indonesia memiliki rekam jejak pernah memenangkan sengketa melawan Uni Eropa dalam ketentuan BMAD (Bea Masuk Anti-Dumping) pada 2018.
"Termasuk penentuan komposisi hakim/panel dan menyusun argumentasi gugatan," ujar Djatmiko, dikutip Minggu (3/12/2023).
Dia optimistis, Pemerintah Indonesia dapat memenangkan sengketa dengan Uni Eropa tersebut di WTO.
"Pemerintah Indonesia akan berupaya secara optimal untuk menyampaikan argumen yang kuat kepada panel," ucapnya.
Baca Juga
Djatmiko menyebut sejumlah tantangan untuk memenangkan sengketa tersebut, di antaranya yakni memperoleh data-data pendukung untuk memperkuat argumen pemerintah Indonesia dalam membantah tudingan Uni Eropa.
"Dalam proses bersengketa, tantangan lainnya yang akan dihadapi adalah bagaimana mendapatkan hakim atau panelis yang fair [adil] independen dan impartial," katanya.
Di sisi lain, Indonesia juga resmi mengajukan gugatan terhadap Uni Eropa terkait dengan pengenaan bea masuk antidumping (BMAD) baja nirkarat di WTO.
Staf Khusus Menteri Perdagangan Bidang Perjanjian Internasional Kemendag, Bara Krishna Hasibuan, mengatakan kasus ketiga Indonesia di WTO ini berkaitan produk lempeng baja canai dingin nirkarat (stainless steel cold-rolled flat/SSCRF).
"Kita mengajukan case ketiga. Jadi, mereka meng-imposed UE [Uni Eropa] additional import duty," kata Bara seperti dikutip dari Antara, Minggu (4/12/2023).
Uni Eropa mengenakan bea masuk penyeimbang (BMP) atau countervailing duty atas SSCRF India dan Indonesia.
BMP yang dikenakan ke Indonesia sebesar 21 persen dan India 7,5 persen, sedangkan BMAD yang dikenakan Uni Eropa sebesar 10,2 sampai 31,5 persen sejak 2021.
Bara mengatakan Indonesia dituding mendapat subsidi dari pemerintah China lantaran negara tersebut mendirikan perusahaan baja di Tanah Air.
"Bagi UE itu unfair practices, jadi sama saja UE membeli produk China, tapi pabriknya di Indonesia, tapi disubsidi oleh Pemerintah China. Mungkin tahun depan dibahas, kita sudah ajukan secara resmi," ujar Bara.
Bara menyampaikan saat ini permintaan ekspor baja ke Eropa sedang meningkat. Dengan adanya BMAD dan BMP, kerugian yang dialami Indonesia dalam setahun bisa mencapai 40 juta euro atau Rp569,1 miliar.