Bisnis.com, JAKARTA - Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menilai bahwa Indonesia masih belum menjadi mitra yang strategis bagi Amerika Serikat (AS) dengan melihat dari sisi perdagangan nasional, perbandingan dengan negara tetangga, dan dari sisi investasi.
Argumen tersebut diungkapkan oleh Peneliti Departemen Ekonomi CSIS Dandy Rafitrandi, dalam CSIS Media Briefing: Menelaah Hasil Pertemuan Bilateral Presiden Joko Widodo dan Presiden Joseph Biden, Kamis (16/11/2023)
Dandy menilai bahwa dari sisi perdagangan internasional, misalnya dalam satu dekade terakhir, nilai perdagangan Indonesia-AS dinilai masih berada di bawah potensi dengan pertumbuhan yang cukup terbatas.
Dia memberikan contoh pada 2022 dengan nilai perdagangan Indonesia-AS mencapai US$40 miliar. Kemudian, secara proporsi juga kurang dari 1% dari total perdagangan AS.
“Jadi kita bisa lihat cukup tidak signifikan sebenarnya ya, in terms of perdagangan internasional antara Indonesia dan juga AS,” jelas Dandy.
Ekspor Indonesia-AS meningkat dua kali lipat dari 2012 hingga 2022 dengan trade surplus yang meningkat. Impor dari AS cenderung stagnan.
Baca Juga
Jika membandingkan dengan China, kinerja ekspor Indonesia meningkat tiga kali lipat pada periode yang sama, yakni dari 2012-2022. Sementara impor juga meningkat dua kali lipat.
“Jadi sebenarnya peningkatan ini juga kita lihat tidak terlalu tinggi kalau kita bandingkan dengan China. Nah ini membuat kita melihat apakah benar Indonesia ini dipandang secara ekonomi itu strategis oleh AS,” tuturnya.
Lalu, jika melihat dengan ekspor Vietnam ke AS pada periode yang sama, peningkatan ekspor tercatat sebesar lima kali lipat. Menimbang data ini, maka magnitude-nya sudah berbeda dengan Indonesia.
Perbedaan RI dengan Vietnam dan China
Dandy menjelaskan terdapat beberapa alasan mengapa perdagangan Vietnam dan AS sangat fantastis. Pertama, Vietnam memiliki perjanjian perdagangan bilateral dengan AS sejak 2001.
Hal ini merupakan fondasi yang cukup signifikan dalam membangun perdagangan, investasi bilateral di kedua negara, manajemen tata kelola perdagangan internasional, serta fasilitasi perdagangan yang lebih baik dibandingkan Indonesia.
Dari sisi investasi, investor AS di Indonesia masih cukup terkonsentrasi di sektor-sektor tradisional atau primary sector. Contohnya migas dan pertambangan.
Lalu, jika dibandingkan dengan China, selama sepuluh tahun terakhir dengan Indonesia dinilai cukup agresif dengan berinvestasi tidak hanya di sektor primer namun juga dalam infrastruktur, masuk ke padat karya atau manufaktur.
Adapun, kini juga terlihat investasi landmark-landmark dari China, misalnya kereta cepat Jakarta-Bandung. Sedangkan, dengan Jepang adalah proyek MRT.
“Nah, kalau Amerika Serikat apa nih? Kalau Freeport sepertinya sudah terlalu kelamaan ya, landmark-nya. Jadi kita ingin memperlihatkan bahwa landmark investment ini juga penting,” jelasnya.
Dia menilai Kemitraan Komprehensif Strategis (CSP) AS-Indonesia yang juga dinilai tidak terlalu konkrit, utamanya jika dibandingkan dengan Vietnam. Dia memberikan strategi terbaik bagi Indonesia, setidaknya untuk saat ini.
Menurutnya, perlu untuk momentum kerjasama ekonomi internasional antara Indonesia-AS, yakni sebagai channel melakukan reformasi, fasilitasi, dan perbaikan kebijakan perdagangan ke depan.
Dengan menerapkan hal tersebut, maka diharapkan Indonesia bisa mendapatkan kerjasama ekonomi internasional yang lebih komprehensif dan juga lebih strategis, utamanya baru-baru ini dengan kerjasama bersama AS.
Kemudian, jika melihat dari sisi Paman Sam, AS sendiri juga dinilai memiliki prioritas dalam memperkuat perekonomian domestik, dan bahkan AS akan melaksanakan pemilu yang berlangsung pada tahun depan.
Menimbang hal tersebut, Indonesia juga dinilai perlu mewaspadai potensi perubahan domestik politik yang dapat merubah arah kebijakan ekonomi luar negeri AS. Misalnya, ide mantan Presiden Donald Trump untuk meningkatkan tarif impor 10% untuk semua produk yang diimpor AS jika terpilih kembali.
“Oleh karena itu, kita melihat penting bagi Indonesia untuk dapat lebih proaktif untuk bisa menindaklanjuti hasil-hasil perundingan yang kemarin, pertemuan Presiden AS Joe Biden dan Presiden Jokowi pada 13 November 2023," ungkapnya.