Bisnis.com, JAKARTA - Ekonomi Indonesia diprediksi masih tahan banting di tengah tekanan domestik dan global dengan level pertumbuhan di atas 5 persen pada kuartal III/2023.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tumbuh sebesar 5,1% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada kuartal III/2023.
Pertumbuhan ekonomi tersebut diperkirakan melambat jika dibandingkan dengan capaian pertumbuhan ekonomi pada kuartal II/2023 yang sebesar 5,17% YoY.
Selain soal pertumbuhan ekonomi, terdapat informasi komprehensif lainnya yang menjadi pilihan redaksi BisnisIndonesia.id pada Senin (6/11/2023), di antaranya adalah:
1. Menilik Prospek Kinerja Perekonomian RI Kuartal III/2023
Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada periode tersebut akan berada di rentang 5,05% hingga 5,09% (year-on-year/YoY).
Demikian pula konsensus Bloomberg yang memperkirakan ekonomi Indonesia akan tumbuh 5,0% tahun ini, sementara proyeksi OECD sedikit lebih rendah di 4,9%.
Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan laporan pertumbuhan ekonomi atau PDB Indonesia kuartal III/2023 pada Senin, (6/11/2023), pukul 11.00 WIB.
2. Kekhawatiran Permintaan Tekan Harga Minyak Dunia
Pengaruh perang Israel-Hamas ke pasar minyak dunia tampak mereda dan kini fokus kembali ke risiko permintaan yang lemah, membawa harga komoditas energi paling berpengaruh ini turun dalam dua pekan terakhir.
Harga minyak mentah sebagian besar telah melepaskan premi perangnya karena konflik tersebut tidak membahayakan pasokan dari Timur Tengah, yang merupakan sumber dari sepertiga minyak dunia. Hal ini membawa sentimen pasar kembali ke kekhawatiran soal permintaan.
Apalagi, aktivitas pabrik di China, selaku negara pengimpor terbesar, kembali mengalami kontraksi pada Oktober 2023. Sementara itu, permintaan bahan bakar di Amerika Serikat (AS) tetap rendah dan stok minyak mentah meningkat.
3. Asa Saham Emiten Unggas di Tengah Tekanan Harga Bahan Baku Pakan
Sejumlah analis masih merekomendasikan beli saham emiten unggas, kendati kinerja sahamnya cenderung lesu tahun ini, demikian pula kinerja bisnisnya yang tertekan akibat kenaikan komoditas bahan baku pakan ternak.
Mengacu data Bloomberg per Jumat, (3/11/2023), harga jagung turun terkoreksi 0,43% menyentuh US$468 per bushel, sedangkan harga bungkil kedelai (soybean meal) turun 0,16% ke level US$425,6 per ton. Harga bahan baku pakan ternak pun mengalami fluktuasi yang cukup signifikan sepanjang tahun berjalan.
Adapun, CPIN, JPFA, dan MAIN beroperasi sebagai perusahaan unggas terintegrasi yang mencakup segmen hulu seperti pakan dan day old chicken (DOC), segmen tengah yakni ayam pedaging, dan segmen hilir yaitu produk olahan ayam.
4. Optimisme Sekuritas Pacu IPO di Tahun Politik 2024
Kalangan sekuritas optimistis mampu menarik minat banyak korporasi untuk tetap melakukan penawaran umum perdana saham atau initial public offering (IPO) pada 2024 mendatang, di tengah sentimen ketidakpastian pemilu serta suku bunga yang tinggi.
Pemilihan umum atau pemilu menjadi momentum yang menentukan bagi arah ekonomi dan politik bangsa. Sering kali, ketidakpastian terkait pemimpin terpilih menjadikan pelaku pasar dan bisnis bersikap wait and see.
Namun, Pemilu 2024 mendatang digelar relatif cepat, yakni pada awal tahun atau Februari 2024, ketika aktivitas ekonomi umumnya masih terbatas. Dengan kata lain, pada kuartal pertama, pelaku ekonomi sudah mengetahui siapa pemimpin baru negeri.
5. China Bersumpah Bakal Perderas Arus Impor
Perdana Menteri China Li Qiang menjanjikan perluasan akses ke pasar dan terbuka akan produk impor setelah kritikan terhadap kinerja investasi asing yang melorot.
Disebutkan dalam laporan, Li bersumpah untuk melindungi hak-hak dan kepentingan para investor asing sesuai dengan hukum.
Sebelumnya, kritikan muncul setelah ukuran investasi asing ke dalam perekonomian terbesar kedua di dunia ini negatif untuk pertama kalinya sejak pencatatan dimulai pada 1998. Hal itu terjadi di tengah kondisi bisnis yang memburuk sehingga menciptakan sentimen negatif di antara banyak perusahaan luar negeri.