Bisnis.com, JAKARTA - Kalangan pengusaha kelapa sawit memandang Undang-Undang Antideforestasi Uni Eropa (EUDR) akan menambah beban usaha mereka.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono, menyebut peraturan Uni Eropa itu akan berdampak signifikan terhadap biaya produksi yang lebih tinggi.
Adapun, standar EUDR ditetapkan pada tujuh komoditas pertanian antara lain kelapa sawit, kopi, kakao, karet, kedelai, sapi dan kayu.
Menurut Eddy, kenaikan biaya produksi tidak hanya terjadi pada perusahaan komoditas perkebunan dan produk pertanian, tapi juga dialami industri makanan dan minuman yang masuk dalam rantai pasok.
"Karena mereka harus mematuhi peraturan baru mengenai penggunaan sumber bahan, kemasan plastik, barang sekali pakai dan pengurangan limbah makanan," ujar Eddy saat membuka Indonesian Palm Oil Conference and 2024 Price Outlook (IPOC) di Nusa Dua, Bali, Kamis (2/11/2023).
Adapun seluruh peningkatan biaya produksi yang timbul akibat penerapan EUDR, kata Eddy, berisiko dibebankan pada konsumen akhir. Di sisi lain, kebijakan tersebut juga dipastikan akan menekan petani kecil dalam rantai pasok kelapa sawit di pasar global.
Baca Juga
"Pada akhirnya, biaya yang timbul akan ditanggung oleh konsumen akhir," tutur Eddy.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan bahwa pemerintah dari sejumlah negara yang terdampak aturan EUDR telah sepakat bekerja sama dengan Uni Eropa membangun kerangka kerja untuk pertanian yang lebih berkelanjutan.
"Termasuk produk minyak nabati dengan cara yang inklusif, holistik, adil dan tidak diskriminatif," kata Airlangga.
Airlangga pun menegaskan bahwa pengakuan Uni Eropa terhadap sertifikasi dan standarisasi praktik pertanian berkelanjutan versi negara produsen untuk sejumlah komoditas menjadi sangat penting.
Namun, di sisi lain sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan milik Indonesia yakni ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil) hingga kini masih belum diakui oleh pihak Uni Eropa.
Airlangga menambahkan, pengakuan sepenuhnya terhadap standar keberlanjutan nasional oleh pihak Uni Eropa dapat memudahkan para produsen mengakses pasar di Benua Biru tersebut.