“Dengan kasus ini terjawablah sudah. Masalah penjualan offline tidak ada hubungannya dengan penjualan online karena perilaku masyarakat yang sudah berubah,” ujar Tesar, Jumat (13/10/2023).
Menurutnya, fenomena sepinya pasar tradisional dan pusat grosir justru dikarenakan gaya hidup dan belanja masyarakat yang sudah berubah. Masyarakat cenderung malas untuk keluar dari rumah untuk membeli suatu barang sehingga mereka lebih memilih untuk membeli barang secara online.
“Orang sudah lebih berhemat sehingga mereka tidak membeli barang-barang yang sekunder,” ujar Tesar.
Dia menambahkan, jika memang para penjual di Tanah Abang sudah berusaha untuk merambah ke e-commerce, tetapi masih tidak laku, hal ini juga bukan kesalahan platform dagang digital.
Menurutnya, memang dengan kehadiran e-commerce, pedagang makin besar dan pasar makin luas. Alhasil, persaingan usaha yang lebih luas pun tidak terbendung.
Selain itu, Tesar menambahkan, pelanggan akan cenderung melihat yang lebih murah, mudah, dan dekat.
Baca Juga
Pemerintah Jangan Salah Langkah
Hal serupa juga disampaikan oleh pengamat ekonomi digital Ignatius Untung yang menyarankan pemerintah jangan gegabah dan salah langkah lagi perihal permintaan dari pedagang Tanah Abang.
Pemerintah diminta untuk melihat data secara cermat dan komprehensif, di tengah desakan pedagang yang meminta agar Lazada dan Shopee ditutup. Pengamat digital berharap pemerintah mengambil langkah yang bijak, berbasis data komprehensif.
Belajar dari penutupan TikTok Shop, Untung berpendapat gagalnya penutupan TikTok untuk menyelamatkan UMKM dikarenakan kurangnya kajian dan data-data yang jelas sebelum membuat sebuah regulasi.
“Tidak bisa asal menyambung nyambungkan data, tetapi harus sudah bisa dipelajari terlebih dahulu datanya secara benar lalu nanti kalau keputusannya diambil dampaknya akan seperti apa,” ujar Untung, Jumat (13/10/2023).
Menurut Untung, pada saat penutupan TikTok Shop, data yang digunakan hanyalah data dari Institute Development of Economics and Finance (Indef) dan Bank Dunia. Kedua data tersebut bisa saja merujuk ke kondisi yang berbeda, sehingga tidak dapat divalidasi kebenarannya.
Selain itu, lanjutnya, pemerintah juga sempat mengatakan jika 90 persen produk yang ada di marketplace adalah barang impor. Sebenarnya ketika dikonfirmasi ke bea cukai, ternyata 90 persen tersebut adalah impor umum.
“Impor umum bukan masalah platform dong, impor umum masalahnya bea cukai. Artinya di offline pun terjadi juga impor umum,” ujar Untung.
Oleh karena itu, Untung menyarankan pemerintah untuk mengkaji terlebih dahulu perihal data-data yang sesuai sebelum melakukan regulasi serupa, terutama untuk sektor yang menjadi mata pencaharian banyak orang.