Bisnis.com, JAKARTA — PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGAS) atau PGN menegaskan telah menyerap 100 persen produksi gas dari Proyek Strategis Nasional (PSN) Jambaran Tiung Biru sejak mulai alir gas jual pada 20 September 2022 lalu.
Direktur Utama PGN Arief Setiawan Handoko mengatakan, perseroan telah menyerap gas dari JTB sekitar 105 billion british thermal unit per day (BBtud) pada posisi Oktober 2023.
“Khusus di Oktober 2023 sampai dengan tanggal sekarang, kemampuan produksi JTB di sekitaran 105 BBtud dan juga telah diserap full oleh PGN,” kata Arief kepada Bisnis, Kamis (12/10/2023).
Realisasi serapan itu telah bertambah signifikan dari posisi awal alir gas di level 70 BBtud pada 20 September 2022 sampai dengan September 2023. Sementara itu, serapan gas rata-rata sepanjang paruh pertama 2023 berada di level 80 BBtud.
Perseroan juga telah mengantisipasi potensi kelebihan pasokan gas atau oversupply di Jawa Timur saat JTB memasuki skala produksi penuh nantinya.
Arief mengatakan, perseroan telah berupaya untuk meningkatkan infrastruktur migas di sisi midstream untuk mengalirkan gas dari kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) kepada industri penerima.
Baca Juga
“Sudah kita rencanakan dengan baik dan tidak hanya JTB saja, KKKS lainnya, seperti Husky-CNOOC Madura Limited (HCML) juga sudah direncanakan penyerapannya,” kata dia.
Seperti diketahui, produksi gas dari JTB hingga kini belum optimal. Alasannya, serapan dari industri pengguna baru mencapai 110 juta standar kaki kubik gas (MMscfd). Adapun, keseluruhan kontrak itu berasal dari PGN untuk disalurkan lebih lanjut kepada pelanggan.
Sementara itu, kapasitas produksi gas dari lapangan ini diestimasikan dapat mencapai 192 MMscfd. Beberapa konsumen potensial lainnya yang berencana untuk membeli gas dari proyek JBT, di antaranya perusahaan pupuk PT Petrokimia Gresik dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN.
Sebelumnya, Wakil Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Nanang Abdul Manaf mengatakan, belum optimalnya realisasi produksi JTB itu disebabkan karena penyesuaian yang dilakukan untuk mengimbangi oversupply gas di Jawa Timur saat ini.
“Isu utamanya karena serapan oleh pembeli, sejauh ini di Jawa Tengah-Jawa Timur terjadi oversupply,” kata Nanang saat dikonfirmasi, Rabu (11/10/2023).
Sementara itu, Direktur Utama Pertamina EP Cepu Endro Hartanto mengatakan, perseroan telah membuat perhitungan awal ihwal potensi beban yang mungkin muncul tersebut akibat realisasi produksi yang masih jauh dari kapasitas terpasang.
“Sudah memitigasi tentunya dan untuk hitung-hitungannya sedang dibahas dan nanti akan dibahas dengan pihak-pihak terkait,” kata Endro kepada Bisnis, Jakarta, Rabu (11/10/2023).
Situasi itu, kata dia, bakal berdampak negatif pada perusahaan dalam jangka pendek. Kendati demikian, dia memastikan perseroan bersama dengan pemerintah bakal memitigasi situasi itu pada jangka panjang.
“Untuk jangka panjang bersama-sama dengan Pertamina Group, SKK Migas, dan pemerintah sedang menyelesaikan hal ini,” kata dia.
Sebelumnya, SKK Migas memproyeksikan surplus pasokan gas pada wilayah kerja bagian Jawa, Bali dan Nusa Tenggara atau Jabanusa dapat mencapai 50 MMscfd seiring dengan operasi komersial JTB dan beberapa lapangan gas lainnya hingga pertengahan tahun ini.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan, surplus pasokan gas itu disebabkan karena masifnya kegiatan onstream serta peningkatan kapasitas produksi dari beberapa lapangan di kawasan tersebut beberapa waktu terakhir.
“JTB sendiri yang kemarin beroperasi 60 persen akan segera jadi 100 persen produksinya mencapai 192 MMscfd,” kata Tjip di Surabaya, Senin (22/5/2023).
Selain itu, SKK Migas turut mengidentifikasi penambahan produksi yang signifikan pada akhir semester I/2023 yang disumbangkan oleh dua lapangan pengembangan Husky-CNOOC Madura Limited (HCML), yakni MAC dan MBH. Kedua lapangan itu berhasil menyumbangkan tambahan pasokan migas menjadi sekitar 140 MMscfd.
Sementara itu, potensi penambahan produksi gas juga turut terjadi pada Lapangan Bukit Panjang WK Ketapang milik Petronas dan WK Blora yang dikelola TIS Petroleum E&P Blora Pte Ltd. Kepastian itu disampaikan seiring dengan upaya kedua kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) untuk mengamankan pembeli di sisi hilir migas saat ini.