Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mendukung upaya pemerintah yang menutup TikTok Shop sebagai platform social commerce demi menjaga pasar domestik dari derasnya perdagangan barang impor. Namun, aturan tersebut menimbulkan dampak bagi Gen Z dan Milenial
Sebagaimana diketahui, pemerintah resmi memberlakukan aturan pemisahan platform media sosial dengan e-commerce melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 31/2023 sebagai revisi dari Permendag No. 50/2020.
Ketua Umum Apindo Shinta W. Kamdani mengatakan aturan tersebut tidak sejalan dengan tren segmentasi pasar social commerce yang didominasi oleh generasi milenial dan gen Z, sehingga dari segi demand pasar pun dapat tergerus.
"Saya rasa efektivitasnya akan rendah dan tidak sesuai harapan karena social commerce adalah bentuk demand pasar yang saat ini didominasi oleh digital natives [Gen Z dan Milenal]," kata Shinta, dikutip Kamis (5/10/2023).
Menurut Shinta, daya beli dan pertumbuhan permintaan terhadap suatu produk di kalangan tersebut justru berkembang dari pengaruh media sosial, sehingga bagi konsumen social commerce merupakan jawaban dari kebutuhan.
Di samping itu, Shinta menyebutkan bahwa hanya Indonesia yang melarang social commerce, sementara hampir seluruh pemain media sosial global melakukan ekspansi melalui platform tersebut.
Baca Juga
"Kami khawatir kita justru akan kehilangan momentum pertumbuhan ekonomi yang bisa diciptakan oleh social commerce tersebut," ujarnya.
Dalam hal ini, dia berpendapat bahwa pemerintah semestinya juga memperhitungkan efek dari kebijakan secara holistik terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, alih-alih hanya untuk memenuhi tututan populis.
Sebab, platform social commerce memiliki isu yang kompleks dan terdapat upside-downside potensial yang relatif seimbang terhadap pertumbuhan ekonomi RI, sehingga perlu ditanggapi secara cerdas.
Di sisi lain, Shinta menyoroti lemahnya kebijakan akan pelaksanaan pembatasan impor ilegal, belum memiliki kapabilitas yang memadai untuk menindak impor-impor yang berujung predatory pricing hingga tidak adanya dorongan kepada pelaku usaha skala UMKM untuk mengikuti tren pasar.