Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) menilai positif rencana PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN mengerek porsi pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) pada revisi rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL).
Lewat revisi terakhir PLN rencanannya bakal menaikan porsi pembangkit EBT ke level 62 gigawatt (GW) atau 75 persen dari keseluruhan kapasitas pembangkit terpasang hingga 2040 mendatang. Angka itu naik tiga kali lipat dari target tambahan pembangkit EBT pada RUPTL saat ini yang berada di angka 20,9 GW.
“Sudah bagus arahnya, memang perlu investasi besar untuk pembangunan EBT dan modernisasi grid-nya,” kata Ketua Umum APLSI Arthur Simatupang saat dihubungi, Kamis (26/9/2023).
Rencananya, target ambius penyediaan sumber setrum bersih itu dominan berasal dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) dengan porsi mencapai 34 GW.
Sisanya, sekitar 28 GW bakal dipenuhi lewat pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB).
Arthur berpendapat bagian yang lebih luas untuk pembangkit EBT bakal memberi sinyal yang positif untuk investasi pada sektor ini. Apalagi, kata dia, sebagian besar perusahaan berbasis fosil saat ini sudah serius migrasi pada portofolio yang lebih berkelanjutan.
Baca Juga
Dia berharap komitmen perusahaan setrum pelat merah itu ikut dibarengi dengan rencana pembangunan jaringan listrik atau grid yang masif nantinya. Dengan demikian, investasi dari swasta dapat segera diesekusi.
“Harus investasi dan kolaborasi bersamaan tidak bisa saling tunggu-tungguan,” kata dia.
Sebelumnya, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN menyebut, grid dengan panjang kurang lebih 23,648 kilometer mesti terbangun untuk mendukung investasi baru pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) sebesar 62 gigawatt (GW) sampai 2040 mendatang.
Hitung-hitungan itu berasal dari studi yang dibuat PLN lewat skenario accelerated renewable energy with coal phase down atau ACCEL sepanjang ruas Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara untuk evakuasi ke Jawa, sebagai pusat permintaan listrik.
Kebutuhan investasi grid itu diperkirakan mencapai US$31 miliar setara dengan Rp480,8 triliun (asumsi kurs Rp15.510 per dolar AS). Adapun, PLN berencana menambah porsi EBT 62 GW dalam revisi rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) yang baru.
“Itu syaratnya ya untuk bisa mencapai 62 GW [pembangkit EBT], pembangunan grid-nya itu harus jadi syarat utama,” kata EVP of Energy Transition and Sustainability PLN Kamia Handayani kepada Bisnis, Rabu (27/9/2023).
Kamia mengatakan, pembangunan jaringan untuk evakuasi listrik pembangkit EBT itu mesti mendapatkan pinjaman atau pembiayaan murah. Dia beralasan pembangunan grid tidak memiliki tingkat pengembalian investasi yang menarik.
“Membutuhkan pendanaan yang sangat murah karena kan transmisi itu bangunnya lama secara komersial kurang menarik jadi butuh pendanaan yang sangat murah untuk bisa berhasil dan dukungan perizinan agar cepat,” kata dia.
Melansir rencana kerja PLN, jaringan listrik Sumatra-Jawa direncanakan dapat beroperasi pada 2029 mendatang, dengan investasi sekitar US$6,5 miliar.
Selanjutnya, jaringan listrik Kalimantan-Jawa ditargetkan dapat beroperasi pada 2036, dengan kebutuhan investasi sebesar US$11,3 miliar.
Sementara itu, jaringan listrik Sulawesi ditargetkan beroperasi pada 2026, dengan nilai investasi US$2,4 miliar. Di sisi lain, jaringan listrik yang menghubungkan Sumba, Bali ke Jawa diharapkan rampung sebelum 2040. Evakuasi listrik yang menghubungkan Jawa dari Suma itu diperkirakan bakal menelan investasi baru sekitar US$4,2 miliar.