Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan kemitraan Just Energy Transition Partnership (JETP) tetap berkomitmen untuk memberi pinjaman lunak pendanaan infrastruktur jaringan listrik atau grid di Indonesia.
Kendati belum ada angka yang menjadi kesepakatan, otoritas energi menilai JETP tetap menunjukan komitmen kuat untuk menyalurkan pendanaan segar pada infrastruktur salur setrum tersebut.
“Sampai saat ini, negara-negara pendukung JETP tetap mendukung untuk pendanaan transmisi, belum ada angka yang menjadi kesepakatan, karena itu nanti eksekusinya untuk pendanaan langsung dengan PLN,” kata Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana saat dikonfirmasi, Kamis (28/9/2023).
Dadan mengatakan pemerintah terus berupaya untuk mematangkan sejumlah alternatif pembiayaan untuk investasi grid tersebut. Dia beralasan grid menjadi infrastruktur penting untuk memastikan keandalan listrik serta pemanfaatan sumber energi baru terbarukan (EBT) yang jauh dari pusat beban atau permintaan
Selain membangun kawasan industri di lokasi sumber EBT, dia menuturkan, pembangunan grid tetap diperlukan untuk menjaga keandalan listrik antar pulau nantinya.
“Tetap diperlukan untuk pembangunan transmisi di wilayah-wilayah lainnya. Targetnya dapat menyambungkan pulau-pulau besar,” kata dia.
Baca Juga
Seperti diketahui, pakta iklim yang tergabung ke dalam kemitraan JETP sempat berjanji untuk menyediakan dana himpunan US$20 miliar atau setara dengan Rp310,7 triliun (asumsi kurs Rp15.535 per US$) dari publik dan swasta selama 3 hingga 5 tahun mendatang untuk membantu pendanaan transisi energi di Indonesia.
Skema pendanaan JETP itu terdiri atas US$10 miliar yang berasal dari komitmen pendanaan publik dan US$10 miliar dari pendanaan swasta yang dikoordinatori oleh Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ), yang terdiri atas Bank of America, Citi, Deutsche Bank, HSBC, Macquarie, MUFG, dan Standard Chartered.
Adapun, kemitraan JETP yang dipimpin AS-Jepang ini, termasuk di dalamnya negara anggota G7 lainnya, yakni Kanada, Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia, serta juga melibatkan Norwegia dan Denmark.
Sebelumnya, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN menyebut, jaringan listrik atau grid dengan panjang kurang lebih 23,648 kilometer mesti terbangun untuk mendukung investasi baru pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) sebesar 62 gigawatt (GW) sampai 2040 mendatang.
Hitung-hitungan itu berasal dari studi yang dibuat PLN lewat skenario accelerated renewable energy with coal phase down atau ACCEL sepanjang ruas Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara untuk evakuasi ke Jawa, sebagai pusat permintaan listrik.
Kebutuhan investasi grid itu diperkirakan mencapai US$31 miliar setara dengan Rp480,8 triliun (asumsi kurs Rp15.510 per dolar AS). Adapun, PLN berencana menambah porsi EBT 62 GW dalam revisi rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) yang baru.
“Itu syaratnya ya untuk bisa mencapai 62 GW [pembangkit EBT], pembangunan grid-nya itu harus jadi syarat utama,” kata EVP of Energy Transition and Sustainability PLN Kamia Handayani kepada Bisnis, Rabu (27/9/2023).
Rencananya, target ambius penyediaan sumber setrum bersih itu dominan berasal dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) dengan porsi mencapai 34 GW. Sisanya, sekitar 28 GW bakal dipenuhi lewat pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB).
Kamia mengatakan, pembangunan jaringan untuk evakuasi listrik pembangkit EBT itu mesti mendapatkan pinjaman atau pembiayaan murah. Dia beralasan pembangunan grid tidak memiliki tingkat pengembalian investasi yang menarik.
“Membutuhkan pendanaan yang sangat murah karena kan transmisi itu bangunnya lama secara komersial kurang menarik jadi butuh pendanaan yang sangat murah untuk bisa berhasil dan dukungan perizinan agar cepat,” kata dia. Melansir rencana kerja PLN, jaringan listrik Sumatra-Jawa direncanakan dapat beroperasi pada 2029 mendatang, dengan investasi sekitar US$6,5 miliar.
Selanjutnya, jaringan listrik Kalimantan-Jawa ditargetkan dapat beroperasi pada 2036, dengan kebutuhan investasi sebesar US$11,3 miliar.
Sementara itu, jaringan listrik Sulawesi ditargetkan beroperasi pada 2026, dengan nilai investasi US$2,4 miliar. Di sisi lain, jaringan listrik yang menghubungkan Sumba, Bali ke Jawa diharapkan rampung sebelum 2040. Evakuasi listrik yang menghubungkan Jawa dari Suma itu diperkirakan bakal menelan investasi baru sekitar US$4,2 miliar.
“Iya itu [proposal grid] masuk dalam bagian Just Energy Transition Partnership [JETP] juga,” kata dia.