Bisnis.com, JAKARTA - Tren nilai ekspor rempah-rempah lokal diproyeksi terus melejit lewat hilirisasi industri. Terlebih rempah segar, seperti lada, pala, cengkeh, jahe, kayu manis, dan vanili banyak diminati konsumen mancanegara.
Melihat potensi tersebut, pemerintah melalui program Indonesia Spice Up The World (ISUTW) menargetkan peningkatan nilai ekspor rempah dan bumbu senilai US$2 miliar atau setara dengan Rp30,8 triliun, sekaligus aktivasi 4.000 restoran Indonesia di berbagai negara.
Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah dan Aneka (IKMA) Kementerian Perindustrian Reni Yanita mengatakan, peran IKM penting dalam mendorong pertumbuhan industri rempah nasional dari hulu ke hilir.
"Kami tidak hanya memperhatikan dari sisi tempat produksinya, tetapi juga sarana dan prasarana, kualitas produk, manajemen dan standar produk ekspor, hingga strategi promosinya," kata Reni dalam keterangan resminya, Selasa (26/9/2023).
Target yang dibidik pemerintah cukup tinggi jika dibandingkan dengan capaian nilai ekspor rempah-rempah saat ini. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor komoditas rempah-rempah (kode HS 09) tercatat mencapai US$144,6 juta sepanjang Januari-Juli 2023.
Nilai ekspor Januari-Juli 2023 itu lebih rendah dibandingkan perolehan ekspor rempah pada periode yang sama tahun 2022 lalu, yakni senilai US$154,5 juta. Hal ini disebabkan fluktuasi harga komoditas sehingga mempengaruhi penurunan nilai.
Baca Juga
Salah satu komoditas yang menjadi perhatian Kemenperin, yakni lada. Reni menuturkan, harga jual lada yang tak menentu membuat nilai ekspor lada terkadang tercatat menurun.
"Harga jual fluktuatif sehingga walaupun volume ekspor meningkat, dari sisi nilai masih mengalami penurunan. Penting untuk melakukan hilirisasi demi meningkatkan nilai tambah lada. Misal diekspor dalam bentuk bumbu racik," ujarnya.
Terlebih, masih banyak tantangan dari segi ketersediaan bahan baku yang fluktuatif, teknologi dan permesinan yang terbatas dan kurang memenuhi standar, serta SDM yang kurang mumpuni.
Selain itu, masih banyak bangunan, peralatan, serta sanitasi di tempat usaha IKM pengolahan lada yang kurang menerapkan standardisasi dan sistem keamanan pangan.
"Hal tersebut menyebabkan spesifikasi produk akhir tidak konsisten. Oleh sebab itu, diperlukan pedoman yang mengatur tata cara pengolahan agar dapat menghasilkan produk yang aman, bermutu, dan layak konsumsi sesuai standar Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP)," terangnya.
Untuk itu, perlu dilakukan peningkatan nilai tambah komoditas rempah melalui pengembangan sentra-sentra penghasil rempah melalui revitalisasi sentra dengan dana alokasi khusus (DAK).
Dengan demikian, produk rempah dari sisi hilir dapat berkualitas dan siap dipasarkan ke industri besar, retail premium, serta ke sektor hotel, restoran, dan kafe atau sektor horeka.
Di sisi lain, pihaknya juga memfasilitasi pelaku IKM dengan meningkatkan teknologi dan kapasitas produksi melalui program restrukturisasi mesin dan peralatan, kualitas kemasan produk, sistem keamanan pangan melalui sertifikasi HACCP, nilai tambah komoditas rempah di sentra penghasil, hingga fasilitas promosi.