Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah diminta untuk mencabut Omnibus Law Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) klaster ketenagakerjaan karena dinilai merugikan buruh.
Ketua Dewan Perwakilan Cabang (DPC) Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Kabupaten Tangerang Ahmad Supriadi mengatakan, hadirnya aturan tersebut mendegradasi hak-hak pekerja hingga 80 persen.
"Dengan Undang-Undang Omnibus Law ketenagakerjaan dalam UU ini semua hal yang berhubungan dengan hak-hak para pekerja terdegradasi sampai 80 persen," kata Ahmad Supriadi kepada awak media di Jakarta Pusat, Kamis (14/9/2023).
Menurutnya, sejumlah aturan yang memberatkan para buruh, di antaranya terkait pesangon, kontrak yang tidak berbatas waktu, hingga outsourcing.
Selain itu, regulasi ini dinilai membuat para buruh menerima upah murah lantaran tak setiap tahun upah buruh naik.
"Dengan UU Omnibus Law klaster ketenagakerjaan, kami dipaksa terima upah murah karena nggak setiap tahun naik," tegasnya.
Baca Juga
Ditemui terpisah, Presiden Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban menyebut bahwa Omnibus Law Cipta Kerja bertentangan dengan prinsip-prinsip buruh sehingga aturan ini harus dibatalkan.
Dia menegaskan, KSBSI tidak akan berhenti memperjuangkan hak-hak buruh. Untuk itu dia meminta Mahkamah Kontitusi (MK) berpihak pada buruh.
"Kami memiliki keyakinan bahwa MK juga akan berpihak kepada buruh. Meskipun belum tentu 100 persen, tapi paling tidak, negara dan MK dapat menyatakan keberpihakannya kepada buruh," tuturnya.
Adapun, aksi demonstrasi dilakukan jelang sidang putusan uji formil Undang Undang (UU) No. 6/2023. Para buruh menuntut dibatalkannya pemberlakuan UU No. 6/2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 2/2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU.
Aturan ini sekaligus sebagai pengganti UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja yang inkonstitusional bersyarat, diputuskan melanggar konstitusi dan harus diperbaiki dalam kurun waktu 2 tahun.